A.
Pendahuluan
Seorang anak di dalam mencari nilai-nilai hidup, harus mendapat
panduan dari pendidik, karena menurut ajaran agama islam, saat anak dilahirkan
dalam keadaan lemah dan suci atau fitrah, dan alam sekitarnya yang akan
memberikan corak warna terhadap nilai hidup atas pendidikan seorang anak,
khususnya pendidikan karakter.
Karena itu islam sangat memperhatikan masalah pendidikan terhadap
anak dan memberikan konsep secara kongkrit, yang terdapat dalam al-Qur’an dan
penjelasan Rasullullah saw. di dalam hadits.
Dalam kaitannya hubungan antara anak dan orangtua, terdapat
peraturan dan panduan-panduan khusus yang dibuat Allah SWT. Di dalam al-Qur’an.
Di al-Qur’an, Allah menjelaskan tentang hak-hak dan kewajiban apa saja yang
harus dipenuhi oleh orangtua, demikian pula sebaliknya, selain hal-hal tersebut
ditujukan kepada orangtua, anak-anak juga mendapatkan hal yang sama, meskipun
konteksnya berbeda.
Nah.. untuk lebih jelasnya, dalam makalah ini, pemakalah akan
mencantumkan beberapa kewajiban dan hak-hak pokok orang tua terhadap anaknya,
dan juga beberapa kewajiban serta hak-hak anak kepada kedua orangtuanya.
B.
Kewajiban Ibu Menyusui Anaknya dan Ayah Menafkahi Anak Serta
Ibunya.
Sub-tema di atas sangat berkaitan dengan penafsiran yang terdapat
dalam QS. Al-Baqarah: 233.
۞وَٱلۡوَٰلِدَٰتُ يُرۡضِعۡنَ أَوۡلَٰدَهُنَّ حَوۡلَيۡنِ
كَامِلَيۡنِۖ لِمَنۡ أَرَادَ أَن يُتِمَّ ٱلرَّضَاعَةَۚ وَعَلَى ٱلۡمَوۡلُودِ لَهُۥ
رِزۡقُهُنَّ وَكِسۡوَتُهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ لَا تُكَلَّفُ نَفۡسٌ إِلَّا
وُسۡعَهَاۚ لَا تُضَآرَّ وَٰلِدَةُۢ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوۡلُودٞ لَّهُۥ
بِوَلَدِهِۦۚ وَعَلَى ٱلۡوَارِثِ مِثۡلُ ذَٰلِكَۗ فَإِنۡ أَرَادَا فِصَالًا عَن
تَرَاضٖ مِّنۡهُمَا وَتَشَاوُرٖ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِمَاۗ وَإِنۡ أَرَدتُّمۡ أَن
تَسۡتَرۡضِعُوٓاْ أَوۡلَٰدَكُمۡ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ إِذَا سَلَّمۡتُم مَّآ
ءَاتَيۡتُم بِٱلۡمَعۡرُوفِۗ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ
بِمَا تَعۡمَلُونَ بَصِيرٞ ٢٣٣
Artinya: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua
tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah
memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak
dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu
menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan
warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua
tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas
keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada
dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah
kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan.
Maksud ayat ini sangat berkenaan dengan penyusuan anak setelah
terjadinya talak. Meskipun telah terjadi perceraian antara ayah dan ibu,
hubungan anak tetap menjadi tanggung-jawab keduanya. Ibu yang telah diceraikan
oleh suaminya mempunyai kewajiban terhadap anaknya yang masih menyusu. Hal ini
merupakan ketetapan dari Allah yang diamanahkan kepada Ibu sebagai bentuk dari
tugas dan kewajibannya sebagai seseorang yang telah melahirkan dan juga
dianggap sebagai orang yang paling dekat dengan si anak, khususnya dalam hal
kasih sayangnya. Allah mewajibkan si ibu untuk menyusui si anak selama dua
tahun penuh. Masa dua tahun ini sangat ideal apabila ditinjau dari segi
kesehatan maupun jiwa si anak. Tetapi, ketentuan ini hanya ditujukan kepada
mereka yang ingin menyempurnakan penyusuan.
Sebagai timbal balik atas jasa si ibu, si ayah juga mempunyai
tanggung jawab berupa kewajiban memberi nafkah dan pakaian kepada si Ibu secara
patut dan baik. Jadi, masing-masing dari ayah dan ibu mempunyai beban serta
tanggung jawab terhadap si anak yang masih menyusu ini. Si ibu merawat,
menyusui, dan memeliharanya, sementara si ayah harus memberi makanan dan
pakaian kepada si ibu dan anaknya sesuai dengan kadar kemampuannya.[1]
Dalam penafsiran lain dijelaskan bahwa secara lahiriah ayat di atas
bermaksud menyatakan tentang kewajiban menyusui bagi ibu kepada anaknya,
kecuali jika ada udzur yang menghalangi, seperti sakit dan sebagainya. Udzur di
sini juga termasuk dengan halangan mencari pengganti air susu ibu, kalau tidak
mendatangkan mudharat. Sebab, kewajiban di sini berdasarkan maslahat, bukan
ibadah. Menyusui adalah hak si ibu, karena si ayah tidak boleh menghalangi si
ibu menyusui anaknya, meskipun sudah ditalak.
Segolongan ulama’ menyatakan bahwa menyusui bukan kewajiban ibu,
kecuali jika si anak tidak mau menyusu kepada orang lain atau si ayah tidak mau
menyusukan anaknya kepada orang lain. Atau, si ayah tidak mampu untuk membiayai
orang lain untuk menyusui anaknya, atau tidak sanggup membeli makanan lain
sebagai pengganti air susu ibu atau tidak mendapatkan orang lain yang bersedia
untuk menyusui anaknya.
Adapun hikmah membatasi waktu menyusui selama dua tahun adalah
untuk memelihara kepentingan bayi. Karena, air susu adalah makanan utama bayi
yang sangat sesuai untuk tubuhnya. Selain hikmah tersebut, memberi air susu
dalam tempo dua tahun itulah yang mengharamkan pernikahan. Para ulama’ dengan
mendasarkan pada ayat ini berpendapat bahwa sekurang-kurangnya tempo mengandung
adalah enam bulan. Maka, jika waktu tersebut dikurangi oleh tempo menyusui
selama dua tahun (24 bulan) dari 30 bulan, maka tinggal enam bulan.
Selain itu, firman ini memberi pengertian bahwa anak-anak
dibangsakan kepada ayahnya, namun tidak berarti bahwa ibu tidak mempunyai hak
apa-apa terhadap anaknya. Dan, kewajiban yang dibebankan kepada ayah dan ibu
atas anaknya adalah kewajiban yang didasarkan pada batas kemampuannya serta
tidak menghasilkan kemudharatan bagi keduanya.
Pesan lain yang ingin dikatakan oleh ayat ini adalah seyogyanya
seorang ayah dan ibu agar selalu bermusyawarah dalam mendidik putra/i nya,
tidak boleh ada kesewenang-wenangan dalam memelihara anak.[2]
C.
Larangan Membangkang dan Tuntutan Taat Kepada Kedua Orangtua.
Sispa saja yang taat kepada Allah tetapi tidak taat kepada kedua
orangtua, maka Allah tidak akan menerima Amalnya. Dalam hal ini Rasulullah Saw
bersabda:
رضا
الله في رضا الوالدين وسخط الله في سخط الوالدين (رواه ابن حبان والحاكم)
“Keridhaan Allah terletak pada keridhaan kedua
orangtua, dan kemarahan Allah terletak pada kemarahan kedua orangtuaa.
Allah memerintahkan agar sang anak tetap berkata lemah lembut
kepada mereka, di samping harus merendahkan diri penuh hormat dan sopan santun
yang tinggi.[3]
Sebagaiman firman Allah swt.
۞وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعۡبُدُوٓاْ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ
إِحۡسَٰنًاۚ إِمَّا يَبۡلُغَنَّ عِندَكَ ٱلۡكِبَرَ أَحَدُهُمَآ أَوۡ كِلَاهُمَا
فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفّٖ وَلَا تَنۡهَرۡهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوۡلٗا كَرِيمٗا
٢٣ وَٱخۡفِضۡ
لَهُمَا جَنَاحَ ٱلذُّلِّ مِنَ ٱلرَّحۡمَةِ وَقُل رَّبِّ ٱرۡحَمۡهُمَا كَمَا
رَبَّيَانِي صَغِيرٗا ٢٤
Artinya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai
berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya perkataan “cih” dan janganlah kamu membentak mereka dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (Al-Isra’:23). “ Dan
rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan
ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka
berdua telah mendidik aku waktu kecil." (Al-Isra’:24).
Ayat ini dimulai dengan menegaskan ketetapan yang merupakan
perintah Allah untuk mengesakan Allah dalam beribadah, mengikhlaskan diri dan
tidak mempersetukutukan-nya. Keyakinan akan keesaan Allah serta kewajiban
mengikhlaskan diri kepada-nya adalah dasar yang nadanya bertitik tolak segala
kegiatan. Kewajiban pertama dan utama setelah kewajiban mengesakan Allah
beribadah kepada-nya adalah berbakti kepada orang tua.
Al-Quran menggunakan ihsan untuk dua hal. Pertama, memberi nikmat
kepada orang lain. Dan kedua perbuatan baik. Karena itu kata ihsan lebih luas
dari sekedar memberi nikmat atau nafkah. Maknanya bahkan lebih tinggi dan dalam
daripada kandungan makna adil, karena adil adalah memperlakukan orang lain sama
dengan perlakuannya kepada anda. Sedangkan ihsan, memperlakukan orang lain
lebih dari perlakuannya kepada anda. Adil adalah mengambil semua hak anda dan
atau memberi semua hak kepada orang lain.
Sedangkan ihsan adalah memberi lebih banyak daripada yang harus
anda beri dan mengambil lebih sedikit dari yang seharusnya anda ambil. Karena
itu pula, Rasulullah Saw berpesan kepada seorang yang mengadu kepada beliau
bahwa orang tuanya mengambil hartanya: “ engkau dan hartamu adalah milik
ayahmu” ( HR. Abu Daud )
Ihsan ( bakti ) kepada orang tua yang diperintahkan agama islam,
adalah bersikap sopan kepada keduanya dalam ucapan dan perbuatan sesuai dengan
adat dan kebiasaan masyarakat, sehingga merasa senang terhadap kita, serta
mencukupi kebutuhan-kebutuhan mereka yang sah dan wajar sesuai dengan kemampuan
kita.
Kata karim biasa diterjemahkan dengan mulia, kata ini bila
dakaitkan ke rizqun karim maka yang di maksud adalah rezki yang halal dalam
perolehan dan pemamfaatkan serta memuaskan dalam kualitas dan kuantitasnya.
Bila kata karim dikaitkan dengan akhlak menghadapi orang lain, maka ia bermakna
pemaafan.
Ayat di atas menuntut agar apa apa yang di sampaikan kepada orang
tua bukan saja yang benar dan tepat, bukan saja yang sesuai dengan adat
kebiasaan yang baik dalam suatu masyarakat, tetapi juga harus berbuat dan
termulia, dan kalaupun seandainya orang tua melakukan sesuatu “kesalahan”
terhadap anak, maka kesalahan itu harus di anggap tidak ada/dimaafkan kerena
tidak ada orang tua yang bermaksud buruk terhadap anaknya. Demikianlah makna
kariman yang di pesankan kepada anak dalam menghadapi orang tua.
Dari ayat di atas, menjelaskan bahwa “ Qadha” bermakna
memerintahkan dan mewajibkan. Ibnu Abbas, al-Hasan, dan Qatadah berkata: “ini
bukan keputusan hukum, akan tetapi, ketentuan perintah. Di dalam mushaf Ibnu
Mas’ud, “ wa washsha” ini adalah qira’ah para sahabat dan qira’ah Ibnu Abbas,
Ali, dll. Demikian pula pendapat Ubay Ibnu Ka’b. Adapun para ulama’ ahli kalam,
dll. Berkata: “bahwa kata “ Qadha” secara bahasa digunakan untuk arti perintah.
Selain itu, ada juga yang memaknai kata “qadha” sebagai janji.
Dan, jika “Qadha” mencakup semua makna di atas, maka tidak boleh
mengatakan bahwa segala macam kemaksiatan adalah qadha dari Allah. Karena,
kalau yang dikehendaki adalah perintah, maka tidak ada perselisihan bahwa
hal-hal itu tidak boleh, karena Allah SWT. tidak memerintahkan yang demikian.[4]
Selain itu, ayat tersebut juga menegaskan untuk mengesakan-Nya
dalam beribadah, mengikhlaskan diri, dan tidak mempersekutukan-Nya. Karena,
ayat ini ditujukan kepada kaum muslimin, sehingga kata qadha yang berarti
menetapkan lebih tepat untuk dipilih, berbeda dengan QS. Al-An’am:151 yang
ditujukan kepada kaum musyrikin.
Keyakinan terhadap keesaan Allah serta kewajiban mengikhlaskan diri
kepada-Nya adalah dasar yang padanya bertitik tolak kepada segala kegiatan.
Selanjutnya, segala kewajiban dan aktivitas apapun harus dikatakan dengan-Nya
dan didorong oleh-Nya. Kewajiban pertama dan utama adalah mengesakan Allah SWT.
dan beribadah kepada-Nya adalah berbakti kepada kedua orangtua.
Selanjutnya, yang perlu dipahami dalam ayat ini adalah pemahaman
terhadap kata ihsan
(bakti) bermakna bahwa agama Islam memerintahkan pemeluknya untuk
berbakti dan bersikap sopan kepada kedua orangtua, baik dalam hal ucapan maupun
perbuatan yang sesuai dengan adat kebiasaan masyarakat. Sehingga, mereka senang
terhadap kita serta mencukupi kebutuhan-kebutuhan mereka yang sah dan wajar
sesuai dengan kemampuan kita (sebagai anak).
Potongan ayat إِمَّا
يَبۡلُغَنَّ عِندَكَ ٱلۡكِبَرَ أَحَدُهُمَآ أَوۡ كِلَاهُمَا memberikan pengertian bahwa ketika kedua orangtua kita telah
mencapai masa tua dengan keadaan yang bagaimana pun, masing-masing dari
keduanya harus mendapat perhatian dari sang anak. Dan seorang anak tidak boleh
membeda-bedakan sikap terhadap salah satu dari keduanya, baik keduanya tinggal
satu atap dengan kita maupun tidak.
Lebih jelasnya, lanjutan firman Allah dalam QS. Al-Isra’: 24.
Dijelaskan bahwa ayat ini merupakan tuntutan berbakti kepada kedua orangtua.
Tuntutan ini levelnya lebih tinggi dibanding dengan tuntutan yang terdapat pada
ayat sebelumnya. Ayat ini memerintahkan anak untuk selalu bersikap rendah diri
terhadap kedua orangtuanya dengan dorongan kasih sayang dan rahmat dari Allah
SWT, bukan karena faktor kekhawatiran dicela atau dicemooh orang lain.
Ayat ini juga memberikan penekanan bahwa seorang anak tidak boleh
membeda-bedakan sikap kepada bapak atau ibunya. Meskipun, pada dasarnya ibu
hendaknya jauh lebih didahulukan atas ayah, tetapi ini tidak selalu bermakna
demikian. Thahir Ibnu ‘Asyur enulis bahwa Imam Syafi’i pada dasarnya
mempersamakan keduanya, sehingga bila ada salah satu yang hendak didahuluka,
sang anak hendaknya mencari faktor-faktor penguat guna mendahulukan salah
satunya. Karena itu pula, walaupun ada hadits yang mengisyaratkan perbandingan
hak ibu dengan ayah sebagai tiga banding satu, penerapannya pun harus setelah
memperhatikan faktor-faktor yang dimaksud.
D.
Nasihat untuk Orangtua dan Anak.
۞قُلۡ تَعَالَوۡاْ أَتۡلُ مَا حَرَّمَ
رَبُّكُمۡ عَلَيۡكُمۡۖ أَلَّا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡٔٗاۖ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ
إِحۡسَٰنٗاۖ وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ أَوۡلَٰدَكُم مِّنۡ إِمۡلَٰقٖ نَّحۡنُ
نَرۡزُقُكُمۡ وَإِيَّاهُمۡۖ وَلَا تَقۡرَبُواْ ٱلۡفَوَٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنۡهَا
وَمَا بَطَنَۖ وَلَا تَقۡتُلُواْ ٱلنَّفۡسَ ٱلَّتِي حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلۡحَقِّۚ
ذَٰلِكُمۡ وَصَّىٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَعۡقِلُونَ ١٥١
Artinya: Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan
atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan
Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh
anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan
kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik
yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh
jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang
benar". Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu
memahami (nya) (Qs. Al-An’am: 151).
Ayat ini memerintahkan Rasulullah saw. mengajak mereka meninggalkan
posisi yang rendah dan hina, yang tercermin pada kebejatan moral, dan
perhambaan diri kepada selain Allah SWT., menuju ketinggian derajat dan
keluhuran budi pekerti. Katakanlah wahai Nabi kepada mereka: “Marilah menuju
kepadaku, beranjak meninggalkan kemusyrikan dan kebodohan menuju ketinggian dan
keluhuran budi dengan mendengar dan memperkenankan apa yang kubacakan, yakni
kusampaikan kepadamu sebagian dari apa yang diharamkan, yakni dilarang oleh
Tuhan pemelihara dan pembimbing kamu atas kamu, yaitu: pertama dan paling utama
adalah janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan-Nya, sesuatu dan sedikit
persekutuan pun.
Kedua, disusulkan dan dirangkaikannya perintah pertama itu dengan
perintah ini, dalam makna larangan mendurhakai mereka. Peranan tersebut
demikian tegasnya, sehingga dikemukakan dalam bentuk perintah berbakti, yakni,
dan berbuat baiklah secara dekat dan melekat kepada kedua orang ibu-bapak secara
khusus dan istimewa dengan berbuat kebaktian yang banyak lagi mantap atas
dorongan rasa kasih kepada mereka.
Ketiga, setelah menyebut sebab perantara keberadaan manusia di
pentas bumi, dilanjutkan-Nya dengan pesan berupa larangan menghilangkan
keberadaan itu, yakni dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena kamu
sedang ditimpa kemiskinan dan mengakibatkan kamu menduga bahwa bila mereka
lahir kamu akan memikul beban tambahan. Jangan khawatir atas dirimu. Bukan kamu
sumber rizki, tetapi kamilah sumbernya. Kami akan memberi, yakni menyiapkan
sarana rizki kepadamu sejak saat ini dan juga kami akan siapkan kepada mereka.
Yang penting adalah kalian berusaha mendapatkannya. Selanjutnya, setelah
melarang kekejian yang terbesar setelah syirik, durhaka kepada orangtua, dan
membunuh, kini dilarangnya secara umum segala macam kekejian.
Keempat, yaitu dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan
yang keji, seperti membunuh dan berzina, baik yang nampak diantaranya, yakni
yang kamu lakukan secara terang-terangan, maupun yang tersembunyi. Seperti
memiliki pasangan simpanan tanpa diikat oleh akad nikah yang sah.
Kelima, disebut secara khusus satu contoh yang amat buruk dari
kekejian itu yakni, dan jangan kamu membunuh jiwa yang memang diharamkan Allah
membunuhnya, kecuali berdasarkan suatu sebab yang benar, yaitu berdasarkana
ketetapan hukum yang jelas. Demikian itu yang diwasiatkan Tuhan dan nalar yang
sehat kepada kamu supaya kamu berakal dan menghindari larangan-larangan-Nya.[5]
E.
Nasihat Khusus kepada Anak
Dibawah ini akan dikemukakan nasehat dan pesan pendidikan luqman
kepada putranya yang diabadikan Allah dalam al-Qur’an. Pesan-pesan dan nasehat
pendidikan itu adalah sebagai berikut[6]:
وَإِذۡ
قَالَ لُقۡمَٰنُ لِٱبۡنِهِۦ وَهُوَ يَعِظُهُۥ يَٰبُنَيَّ لَا تُشۡرِكۡ بِٱللَّهِۖ
إِنَّ ٱلشِّرۡكَ لَظُلۡمٌ عَظِيمٞ ١٣ وَوَصَّيۡنَا
ٱلۡإِنسَٰنَ بِوَٰلِدَيۡهِ حَمَلَتۡهُ أُمُّهُۥ وَهۡنًا عَلَىٰ وَهۡنٖ وَفِصَٰلُهُۥ
فِي عَامَيۡنِ أَنِ ٱشۡكُرۡ لِي وَلِوَٰلِدَيۡكَ إِلَيَّ ٱلۡمَصِيرُ ١٤ وَإِن
جَٰهَدَاكَ عَلَىٰٓ أَن تُشۡرِكَ بِي مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٞ فَلَا
تُطِعۡهُمَاۖ وَصَاحِبۡهُمَا فِي ٱلدُّنۡيَا مَعۡرُوفٗاۖ وَٱتَّبِعۡ سَبِيلَ مَنۡ
أَنَابَ إِلَيَّۚ ثُمَّ إِلَيَّ مَرۡجِعُكُمۡ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمۡ
تَعۡمَلُونَ ١٥ يَٰبُنَيَّ
إِنَّهَآ إِن تَكُ مِثۡقَالَ حَبَّةٖ مِّنۡ خَرۡدَلٖ فَتَكُن فِي صَخۡرَةٍ أَوۡ
فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ أَوۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ يَأۡتِ بِهَا ٱللَّهُۚ إِنَّ ٱللَّهَ
لَطِيفٌ خَبِيرٞ ١٦ يَٰبُنَيَّ
أَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ وَأۡمُرۡ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَٱنۡهَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَٱصۡبِرۡ
عَلَىٰ مَآ أَصَابَكَۖ إِنَّ ذَٰلِكَ مِنۡ عَزۡمِ ٱلۡأُمُورِ ١٧ وَلَا
تُصَعِّرۡ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمۡشِ فِي ٱلۡأَرۡضِ مَرَحًاۖ إِنَّ ٱللَّهَ
لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخۡتَالٖ فَخُورٖ ١٨ وَٱقۡصِدۡ فِي مَشۡيِكَ وَٱغۡضُضۡ
مِن صَوۡتِكَۚ إِنَّ أَنكَرَ ٱلۡأَصۡوَٰتِ لَصَوۡتُ ٱلۡحَمِيرِ ١٩
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia
memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan
Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang
besar". Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua
orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan
kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya
memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu
tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya
di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian
hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu
kerjakan. (Luqman berkata): "Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu
perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di
dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya
Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui. Hai anakku, dirikanlah shalat dan
suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan
yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang
demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). Dan janganlah kamu
memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di
muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan
lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. (QS
Luqman :13-19).
Sesudah Allah menjelaskan bahwa Luqman telah diberi hikmah, karena
itu lalu Luqman bersyukur kepada Tuhannya atas semua nikmat yang telah
dilimpahkan-Nya kepada dirinya. Dan dia sendiri melihat dampaknya di dalam alam
semesta dan dalam diri sendiri setiap malam dan siang hari. Selanjutnya Allah
mengiringi hal itu dengan penjelasan bahwa Luqman telah menasehati anaknya
untuk melakukan hal-hal tersebut. Kemudian di tengah-tengah nasehat ini, Allah
SWT. menyebutkan wasiat yang bersifat umum ditujukan kepada semua anak. Allah
mewasiatkan kepada mereka supaya memperlakukan orang-orangtua mereka dengan
cara yang baik, dan selalu memelihara hak-haknya sebagai orangtua. Hal itu
sebagai balas jasa atas semua kebaikan dan nikmat yang telah diberikan oleh
orangtua mereka terhadap diri mereka.
Sekalipun demikian, dalam rangka berbakti kepada kedua orangtua,
mereka tidak boleh melanggar hak-hak Allah. Kemudian setelah itu, Allah kembali
menuturkan nasehat-nasehat Luqman lainnya, yaitu sebagian diantaranya berkaitan
dengan hak-hak Allah dan lainnya berkaitan dengan cara bermu’amalah dengan
manusia sebagian diantara mereka terhadap sebagian yang lain.
Luqman menjelaskan kepada anaknya, bahwa perbuatan syirik itu
merupakan kedzaliman yang besar. Syirik disebut dengan perbuatan yang dzalim,
karena perbuatan syirik itu berarti meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya.
Dan dia dikatakan dosa besar, karena perbuatan itu berarti menyamakan kedudukan
Tuhan, yang hanya dari Dialah segala nikmat yaitu, Allah SWT. dengan sesuatu
yang tidak memiliki nikmat apapun, yaitu berhala.
Sesudah Allah menuturkan apa yang telah diwasiatkan oleh Luqman
terhadap anaknya, yaitu supaya ia bersyukur kepada Tuhan yang telah memberikan
semua nikmat, yang tiada seorang pun bersekutu dengan-Nya di dalam menciptakan
sesuatu. Kemudian Luqman menegaskan bahwasanya syirik itu adalah perbuatan yang
buruk. Selanjutnya Allah mengiringi hal tersebut dengan wasiatnya kepada semua
anak supaya mereka berbuat baik kepada kedua orangtuanya, karena sesungguhnya
kedua orangtua adalah penyebab pertama bagi keberadaannya di dunia ini.
Ibu menyapih anaknya dari persusuan sesudah dia dilahirkan dalam
jangka waktu dua tahun. Selama masa itu, ibu mengalami berbagai masa kerepotan
dan kesulitan dalam rangka mengurus keperluan bayinya. Hal ini tiada yang dapat
menghargai pengorbanannya selain hanya yang Maha mengetahui keadaan ibu, yaitu
Tuhan yang tiaa sesuatu pun sama bagi-Nya baik di langit maupun di bumi.
Dan apabila kedua orangtua memaksamu serta menekanmu untuk
menyekutukan Allah dengan yang lain dalam hal ibadah, yaitu dengan hal-hal yang
kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya, maka janganlah kamu menaati apa
yang diinginkan oleh keduanya. Sekalipun keduanya menggunakan kekerasan supaya
kamu mau mengikuti terhadap keduanya, maka lawanlah dengan kekerasan pula bila
keduanya benar-benar memaksa kamu.
Menurut suatu riwayat, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan
Sa’ad Ibnu Abi Waqash. Sehubungan dengan hal ini sahabat Sa’ad telah
menceritakan, ketika aku masuk Islam, ibuku bersumpah bahwa ia tidak mau makan
dan tidak mau minum. Lalu pada hari pertama aku membujuknya supaya dia makan
dan minum, akan tetapi ia menolak dan tetap pada pendiriannya. Dan pada hari
kedua, akau membujuknya pula untuk mau makan dan minum, tetapi masih tetap
menolak. Sehingga, hari ketiga aku membujuknya lagi, dan ia masih juga menolak,
maka aku berkata: demi Allah seandainya engkau mempunyai 100 nyawa, niscaya
semua itu akan keluar dan aku tidak akan meninggalkan agamaku ini. Dan ketika
ibuku melihat bahwasanya diriku benar-benar tidak mau mengikuti kehendaknya,
akhirnya ia mau makan.[7]
Kedua orang-tua dalam ayat diatas disebut secara umum, tidak
dibedakan antara yang muslim dengan yang kafir. Karena itu dapat disimpulkan
suatu hukum berdasarkan ayat ini, yaitu seorang anak wajib berbuat baik kepada
ibu bapaknya, apakah ibu bapaknya itu muslim atau kafir.[8]
Kesimpulan
Allah SWT. Telah menetapkan aturan-aturan yang berkaitan tentang
relasi antara orangtua dan anak. Diantara aturan-aturan tersebut adalah
kewajiban seorang ayah untuk menfkahi anak dan ibunya, baik nafkah batin maupun
batin. Nafkah batin diantaranya adalah memberi pendidikan dan kasih saying.
Sedangkan nafkah lahir adalah hal-hal yang meliputi sandang, pangan, dan papan.
Selain itu, Allah juga menetapkan aturan untuk anak-anak,
diantaranya adalah kewajiban untuk taat dan patuh kepada keduanya, selain
perintah-perintah yang berlawanan dengan aturan Allah. Dan, dalam hal ini,
Allah menjelaskan bahwa tidak ada perbedaan kadar baik kepada orangtua
laki-laki (ayah) dan orangtua perempuan (ibu), dalam artian, keduanya sama saja.
[1] Sayyid Quthb, Terjemah Tafsir Fi Dzilal al-Qur’an, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2000), jilid 2, 154-155.
[2] Tengku Muhammad Hasby al-Shiddiqi, Tafsir al-Qur’anul Majid
al-Nur, (Jakarta: Cakrawala, 2011), jilid 1, 255-257.
[3] Abu Ahmadi, Dosa dalam Islam,
(Jakarta: Pt Rineka Cipta, 1996). 85.
[5] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Pesan, kesan, dan
keserasian al-Qur’an) , (Jakarta: Lentera Hati, 2001), volume 4, 329-331.
[6] Juwariyah, Dasar-dasar
pendidikan anak dalam al-qur’an, (Yogyakarta Penerbit Teras, 2010). 50
[7] Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Semarang:
Karya Thoha Putra, 1992), jilid 21, 152-157.
[8] Abdulah
Husin, Model pendidikan luqman
al-hakim kajian tafsir sistem pendidikan islam dalam surah luqman. (Yogyakarta:
Penerbit Insyira, 2013). 41.