PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Adalah suatu kenyataan sejarah bahwa pemahaman
dan penafsiran terhadap al-Qur’an memiliki kecenderungan dan corak yang
berbeda-beda antara satu generasi dengan generasi berikutnya, antara satu
kelompok atau aliran dengan kelompok atau aliran lainnya. Perbedaan-perbedaan
tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain situasi lingkungan
kehidupan mufassir, kualitas dan keahlian mufassir, dan juga niat atau tujuan
mufassir dalam menulis kitab tafsirnya itu.
Tulisan ini akan menelaah tentang tentang
salah satu kitab tafsir dengan metode tafsir bi al-ra’yi, yaitu tafsir Al-Kasysyȃf
‘an Haqȃ’iq al-Tanzȋl wa Uyȗn al-Aqȃwȋl fȋ Wujȗh al-Ta’wȋl karya
al-Zamakhsyari. Pembahasan ini akan disusun secara deskriptif yang membicarakan
tentang riwayat hidup al-Zamakhsyari, maupun tentang kitab yang ditulisnya baik
dari sisi metodologis maupun beberapa contoh penafsirannya.
Semoga dengan adanya makalah ini akan
memberikan pemahaman dan wawasan yang lebih luas kepada kita mengenai
penafsiran dengan metode tafsir bi al-ra’yi.
PEMBAHASAN
A. Riwayat Hidup Al-Zamakhsyari
Al-Zamakhsyari lahir pada tanggal 27 rajab
467H/1074M. Nama lengkapnya adalah Mahmud ibn Umar ibn Ahmad Al-Khawarizmi Al-Zamakhsyari.
Ia juga mendapat panggilan Abu Al-Qasim, dan
karena pernah lama bermukim di Mekkah, ia terkenal pula dengan panggilan Jȃr Allah (tetangga Allah).[1] Ia
dilahirkan di Zamakhsyar, sebuah kota kecil di Khawarizmi, dari sebuah keluarga
miskin, tetapi alim dan taat beragama. Dilihat dari masa tersebut, ia lahir
pada masa pemerintahan Sultan Jalȃl al-Dȋn Abȋ al-Fatḫ Maliksyah dengan Wazirnya
Nizam al-Mulk. Wazir ini terkenal sebagai orang yang aktif dalam pengembangan dan
kegiatan keilmuan. Dia mempunyai “kelompok diskusi” yang terkenal maju dan
selalu penuh dihadiri oleh para ilmuan dari berbagai kalangan.
Sejak usia menjelang remaja, Al-Zamakhsyari
sudah merantau, meninggalkan desanya pergi menuntut ilmu pengetahuan ke
Bukhara, yang pada masa itu menjadi pusat kegiatan keilmuan dan terkenal dengan
para sastrawan. Baru beberapa tahun belajar, ia merasa terpanggil untuk pulang
sehubungan dengan dipenjarakannya ayahnya oleh pihak penguasa dan kemudian
wafat. Al-Zamakhsyari masih beruntung, bisa berjumpa dengan ulama terkemuka di
Khawarizm, yaitu Abu Mudar al-Nahwi (w.508 H). Berkat bimbingan dan bantuan
yang diberikan Abu Mudar, ia berhasil menjadi murid yang terbaik, menguasai
bahasa dan sastra Arab, logika, filsafat dan ilmu kalam.
Al-Zamakhsyari juga dikenal sebagai yang
berambisi memperoleh kedudukan di pemerintahan. Setelah merasa tidak berhasil dan kecewa melihat orang-orang
yang dari segi ilmu dan akhlak lebih rendah dari dirinya diberi jabatan-jabatan
yang tinggi oleh penguasa, sementara ia sendiri tidak mendapatkannya walaupun
telah dipromosikan oleh guru yang sangat dihormati Abu Mudar. Keadaan itu
memaksanya untuk pindah ke Khurasan dan memperoleh sambutan baik serta pujian dari
kalangan pejabat pemerintahan Abu al-Fath ibn al-Husain al-Ardastani dan
kemudian ‘Ubaidillah Nizam al-Mulk. Di sana ia diangkat menjadi sekretaris (katib),
tetapi karena tidak puas dengan jabatan tersebut, ia pergi ke pusat pemerintahan
Daulah Bani Saljuk, yakni kota Isfahan.
Setidaknya ada dua kemungkinan mengapa Al-Zamakhsyari
selalu gagal dalam mewujudkan keinginannya duduk di pemerintahan. Kemungkinan pertama,
karena ia bukan saja dari ahli bahasa dan sastra Arab saja, tetapi juga seorang
tokoh Mu’tazilah yang sangat demonstratif dalam menyebarluaskan fahamnya, dan
ini membawa dampak kurang disenangi oleh beberapa kalangan yang tidak berafiliasi
pada Mu’tazilah. Kedua, mungkin juga karena kurang didukung kondisi jasmaninya,
Al-Zamakhsyari memiliki cacat fisik, yaitu kehilangan satu kakinya.
Akan tetapi, setelah terserang sakit yang
parah pada tahun 512 H., angan-angannya untuk mendapatkan jabatan di
pemerintahanpun segera sirna. Al-Zamakhsyari lalu melanjutkan perjalanan ke
Bagdad. Di sini ia mengikuti pengajian hadis oleh Abu al-Khattab al-Batr Abi
Sa’idah al-Syajari. Ia bertekad membersihkan dosa-dosanya yang lalu dan
menjauhi penguasa, menuju penyerahan diri kepada Allah swt. Dengan melawat ke
Makkah selama dua tahun. Di kota suci ini ia suntuk mempelajari kitab
Sibawaihi, pakar gramatika Arab yang terkenal (w. 518 H). Ia juga menyempatkan
diri mengunjungi banyak negeri di jazirah Arab. Kerinduannya kepada kampung
halaman membawanya pulang kembali. Setelah Al-Zamakhsyari menyadari usianya
yang semakin lanjut, timbul lagi kegairahannya untuk pergi ke Makkah. Ia tiba
kembali di sana untuk yang kedua kalinya pada tahun 256 H. Dan menetap selama
tiga tahun, yaitu tahun 256-259 H. Atau 1132-1135 M., bertetangga dengan Baitullah
sehingga ia mendapat gelar Jar Allah. Dari Makkah ia pergi lagi ke Bagdad
dan selanjutnya ke Khawarizm. Beberapa tahun setelah berada di negrinya itu, ia
wafat di Jurjaniyah pada malam Arafah tahun 538 H.[2] Sebagian mereka meratapinya dengan mengubah beberapa bait syair
antara lain:
Bumi Mekah pun menumpahkan air mata
dari kelopaknya
Karena sedih ditinggal Mahmud Jarullah[3]
Al-Zamakhsyari membujang seumur hidup.
Sebagian besar waktunya diabdikan untuk ilmu dan menyebarluaskan faham yang
dianutnya, seperti yang sering dilakukan kalangan ulama Mu’tazilah
pendahulunya. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila para penulis
biografinya mencatat kurang lebih 50 buah karya tulisnya yang mencakup berbagai
bidang. Sebagian karya Al-Zamakhsyari ada yang masih dalam bentuk manuskrip.
B. Karya-karya Ilmiahnya
1. Bidang tafsir: Al-Kasysyȃf an Haqȃ’iq Ghawȃmidh al-Tanzȋl wa Uyȗn
al-Aqȃwil fȋ Wujȗh al-Ta’wȋl.
2. Bidang hadis: Al-Fȃ’iq fȋ Gharȋb al-Hadȋts.
3. Bidang fiqh: Al-Ra’ȋd fȋ al-Farȃ’idh.
4. Bidang Ilmu Bumi: Al-Jibȃl wa al-Amkinah.
5. Bidang Akhlak: Mutasyȃbih Asmȃ’ al-Ruwȃt, al-Kalim al-Nabȃwig fȋ
al-Mawȃ’izh, al-Nashȃ’iḫ al-Kibȃr al-Nashȃ’ih al-Shighȃr, Maqȃmat fȋ
al-Mawȃ’izh, Kitȃb fȋ Manȃqib al-Imȃm Abȋ Hanȋfah.
6. Bidang sastra: Dȋwȃn Rasȃ’il, Dȋwȃn al-Tamsȋl,Tasliyat al-Dharȋr.
7. Bidang ilmu nahwu: al-Namȗzaj fȋ al-Naḫw, Syarḫ al-Kitȃb Sibawaih, Syarḫ
al-Mufashshal fȋ ‘Ilm al-Naḫw.
8. Bidang bahasa: Asȃs al-Balȃghah, Jawȃhir al-Lughah, al-Ajnȃs,
Muqaddimah al-Adȃb fȋ al-Lughah.[4]
C. Tafsir al-Kasysyaf
1. Latar belakang penulisan
Al-Zamakhsyari menulis kitab tafsirnya yang
berjudul Al-Kasysyȃf ‘an Haqȃ’iq al-Tanzȋl wa Uyȗn al-Aqȃwȋl fȋ Wujȗh
al-Ta’wȋl bermula dari permintaan suatu kelompok yang menamakan diri Al-Fi’ah
al-Nȃjiyah al-‘Adliyah. Kelompok yang dimaksud di sini adalah kelompok
Mu’tazilah. Dalam muqaddimah tafsir al-Kasysyȃf disebutkan sebagai
berikut: “....mereka menginginkan adanya sebuah kitab tafsir dan mereka meminta
saya supaya mengungkapkan hakikat makna al-Qur’an dan semua kisah yang terdapat
di dalamnya, termasuk segi-segi penakwilannya.
Didorong oleh permintaan di atas, Al-Zamakhsyari
menulis sebuah kitab tafsir, dan kepada mereka yang meminta didiktekanlah
mengenai fawȃth al-Suwar dan beberapa pembahasan tentang hakikat-hakikat
dari surat al-Baqarah. Penafsiran Al-Zamakhsyari ini tampak mendapat
sambutan hangat di berbagai negeri. Dalam perjalanan yang kedua ke Mekkah,
banyak tokoh yang dijumpainya menyatakan keinginannya untuk memperoleh karyanya
itu.
Berdasarkan desakan pengikut-pengikut
Mu’tazilah di Makkah dan atas dorongan al-Hasan ‘Ali ibn Hamzah ibn Wahhas,
serta kesadaran dirinya sendiri, akhirnya Al-Zamakhsyari berhasil menyelesaikan
penulisan tafsirnya dalam waktu kurang lebih 30 bulan. Penulisan tafsir tersebut dimulai ketika ia berada di Mekkah pada tahun 526
H. Dan selesai pada hari senin 23 Rabiul Akhir 528 H.
Pada tahun 1986, tafsir al-Kasysyȃf
dicetak ulang pada percetakan Mustafȃ al-Bȃbȋ al-Halabȋ,
Mesir, dalam empat jilid. Jilid pertama diawali dengan surah al-Fȃtiḫah
dan diakhiri dengan surah al-Mȃ’idah. Jilid kedua diawali dengan surah al-An’ȃm dan diakhiri dengan surah al-Anbiyȃ’. Jilid ketiga
diawali dengan surah al-Ḫajj dan diakhiri dengan surah al-Ḫujurȃt. Jilid
keempat diawali dengan surah Qȃf dan diakhiri dengan surah al-Nȃs.[5]
2.
Sumber
Penulisan
Sumber-sumber yang dijadikan rujukan oleh Al-Zamakhsyari
dalam menulis kitab tafsirnya meliputi berbagai bidang ilmu, antara lain:
a.
Sumber
tafsir
1)
Tafsir
Mujȃhid
2)
Tafsir
‘Amr ibn ‘Ȃsh ibn ‘Ubaid al-Mu’tazili
3)
Tafsir
Abȋ Bakr al-Mu’tazili
4)
Tafsir
al-Zajjaz
5)
Tafsir
al-Rumȃni
6)
Tafsir
‘Alȋ ibn Abȋ Thȃlib dan Ja’far al-Shȃdiq
7)
Tafsir
dari kelompok Jabariyah dan Khawarij
b.
Sumber
Hadis
Dalam
menafsirkan al-Quran, Al-Zamakhsyari mengambil dari berbagai macam hadis, tetapi yang
diesebutkan secara jelas hanya shahih Muslim. Ia biasanya menggunakan istilah fȋ
al-Ḫadȋts.
c.
Sumber
Qira’at
1)
Musḫaf
‘Abdullȃh ibn Mas’ud
2)
Musḫaf
Ḫaris ibn Suwaid
3)
Musḫaf
Ubay bin Ka’ab
4)
Musḫaf
Ulama Hijȃz dan Syȃm
d.
Sumber
bahasa dan tata bahasa
Bahasa atau tata bahasa adalah sumber yang paling
banyak dipergunakan oleh Al-Zamakhsyari dalam menafsirkan al-Qur’an, untuk
lebih banyak mengungkapkan kemukjizatan al-Qur’an. Adapun sumber-sumber yang
diambil antara lain:
1)
Kitȃb
al-Nahwi, karya al-Sibawaihi
2)
Ishlȃh
al-Manthiq, karya Ibn al-Sukait
3)
Al-Kȃmil, karya al-Mubarrad
4)
Al-Mutamammim, karya Abdullah Ibn Dusturiyah
5)
Al-Ḫujjah, karya Abi
‘Ali al-Farisi
6)
Al-Halabiyyȃt, karya Abi ‘Ali al-Farisi
7)
Al-Tamȃm, karya Ibn Al-Jinni
8)
Al-Muḫtasib, karya Ibn al-Jinni
9)
Al-Tibyȃn, karya Abi al[-Fath al-hamdani
e.
Sumber
sastra
1)
Al-Hayarȃn, karya al-Jahiz
2)
Hamȃsah, karya Abi tamam
3. Metode dan Corak Penafsiran
Tafsir al-Kasysyȃf disusun dengan
tartib mushafi, yaitu berdasarkan urutan surat dan ayat dalam mushaf usmani,
yang terdiri dari 30 juz dan 144 surah, dimulai dengan surah al-Fȃtiḫah
dan diakhiri dengan surah al-Nȃs. Setiap surah diawali dengan Basmalah,
kecuali surah al-Taubah.
Dalam menafsirkan al-Qur’an, Al-Zamakhsyari
lebih dahulu menuliskan ayat al-Qur’an yang akan ditafsirkan, kemudian memulai
penafsirannya dengan mengemukakan pemikiran rasional yang didukung dengan
dalil-dalil dari riwayat (hadis) atau ayat al-Qur’an, baik yang berhubungan dengan
sabȃb an-Nuzȗl suatu ayat atau dalam hal penafsiran ayat. Meskipun
demikian, ia tidak terikat oleh riwayat dalam penafsirannya. Dengan kata lain,
kalau ada riwayat yang mendukung penafsirannya ia akan mengambilnya, dan kalau
tidak ada riwayat, ia akan tetap melakukan penafsirannya.
Jika diteliti dengan cermat, ayat demi ayat,
surah demi surah, maka nampaklah dengan jelas bahwa metode yang dipergunakan Al-Zamakhsyari
dalam penafsirannya adalah metode tahlili, yaitu meneliti makna kata-kata dan
kalimat-kalimat dengan cermat. Ia juga menyingkap aspek munasabah, yaitu
hubungan antara satu ayat dengan ayat lainnya atau antara satu surah dengan
surah lainnya, sesuai dengan tertib susunan surah-surah dalam mushaf usmani.
Untuk membantu mengungkapkan makna ayat-ayat ia juga menggunakan
riwayat-riwayat dari para sahabat dan para tabi’in, dan kemudian mengambil konklusi
dengan pandangan atau pemikirannya sendiri.
Karena sebagian besar penafsirannya berorientasi
kepada rasio, maka tafsir al-Kasysyȃf dapat dikategorikan pada tafsir bi
al-ra’yi, meskipun pada beberapa penafsirannya menggunakan dalil naql
(nash al-Qur’an dan hadis).
Contoh bentuk penafsiran bi al-ra’yi
dengan metode tahlili dalam tafsir al-Kasysyȃf dapat dilihat pada
penafsiran QS. Al-Baqarah ayat 115 berikut ini:
وَلِلَّهِ
ٱلۡمَشۡرِقُ وَٱلۡمَغۡرِبُۚ فَأَيۡنَمَا تُوَلُّواْ فَثَمَّ وَجۡهُ ٱللَّهِۚ إِنَّ
ٱللَّهَ وَٰسِعٌ عَلِيمٞ ١١٥
Artinya: dan
kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah
wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui.
ولله المشرق والمغرب menurut Al-Zamakhsyari maksudnya adalah Timur
dan Barat, dan seluruh penjuru bumi, semuanya kepunyaan Allah. Dia yang
memiliki dan menguasai seluruh alam فأينما تولوا maksudnya ke arah manapun manusia menghadap
Allah, hendaknya menghadap kiblat sesuai dengan firman Allah Swt dalam surah al-Baqarah
ayat 144 yang berbunyi:
قَدۡ
نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجۡهِكَ فِي ٱلسَّمَآءِۖ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبۡلَةٗ
تَرۡضَىٰهَاۚ فَوَلِّ وَجۡهَكَ شَطۡرَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِۚ وَحَيۡثُ مَا
كُنتُمۡ فَوَلُّواْ وُجُوهَكُمۡ شَطۡرَهُۥۗ وَإِنَّ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ
لَيَعۡلَمُونَ أَنَّهُ ٱلۡحَقُّ مِن رَّبِّهِمۡۗ وَمَا ٱللَّهُ بِغَٰفِلٍ عَمَّا
يَعۡمَلُونَ ١٤٤
Artinya: Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu
berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya. Gi-Nya dan manusia diperintahkan
untukmenghadap Allah pada tempat tersebut.
فثم وجه الله menurut Al-Zamakhsyari maksudnya di tempat Masjidil haram itu ada Allah,
yaitu tempat yang disenangi-Nya manusia diperintahkan untuk menghadap Allah
pada tempat tersebut. Maksud ayat di atas adalah apabila seorang muslim akan
melakukan shalat dengan menghadap Masjid al-Haram dan Bait al-Maqdis,
akan tetapi ia ragu akan arah yang tepat untuk menghadap ke arah tersebut, maka
Allah memberikan kemudahan kepadanya untuk menghadap ke arah manapun dalam
shalat, dan di tempat manapun sehingga ia tidak terikat oleh lokasi tertentu.
Latar belakang turunnya ayat ini menurut Ibn ‘Umar berkenaan dengan shalat
musafir di atas kendaraan, ia menghadap ke arah mana kendaraannya menghadap.
Tetapi menurut ‘Atha, ayat ini turun ketika tidak diketahui arah kiblat shalat
oleh suatu kaum, lalu mereka shalat ke arah yang berbeda-beda. Setelah pagi
hari ternyata mereka salah menghadap kiblat, kemudian mereka menyampaikan
peristiwa tersebut kepada Nabi Muhammad, lalu turunlah ayat ini. Ada juga yang
berpendapat bahwa kebolehan menghadap ke arah mana saja itu adalah dalam
berdoa, bukan dalam shalat.
Mengenai corak tafsir al-Kasysyȃf,
dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Al-Zamakhsyari terkenal sebagai seorang yang ahli dalam bahasa Arab, yang
meliputi sastranya, balaghahnya, nahwunya atau gramatikanya. Oleh karena itu
tidak mengherankan kalau bidang-bidang keahliannya itu juga sangat mewarnai
hasil penafsirannya.
Selain aspek balaghah, aspek nahwu dan
gramatika juga sangat kental mewarnai tafsir al-Kasysyȃf, terutama bila berkenaan
dengan dhamȋr, misalnya ketika menafsirkan surah al-Baqarah ayat
23 sebagai berikut:
وَإِن
كُنتُمۡ فِي رَيۡبٖ مِّمَّا نَزَّلۡنَا عَلَىٰ عَبۡدِنَا فَأۡتُواْ بِسُورَةٖ مِّن
مِّثۡلِهِۦ وَٱدۡعُواْ شُهَدَآءَكُم مِّن دُونِ ٱللَّهِ إِن كُنتُمۡ صَٰدِقِينَ
٢٣
Artinya: dan
jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba
Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu
Menurut
Al-Zamakhsyari kembalinya dhamȋr (kata ganti) hi pada kata mitslihi
adalah pada kata mȃ nazzalnȃ atau pada kata ‘abdinȃ, tetapi yang
lebih kuat dhamȋr itu kembali pada kata mȃ nazzalnȃ, sesuai dengan
maksud ayat tersebut, sebab yang dibicarakan dalam ayat tersebut adalah
al-Qur’an, bukan Nabi Muhammad.
b. Al-Zamakhsyari adalah seorang teolog (mutakalim) sekaligus seorang tokoh
Mu’tazilah. Kedua predikat ini juga mewarnai penafsirannya yang tertuang dalam
tafsir al-Kasysyȃf, sehingga tafsir tersebut juga memiliki corak
teologis dan lebih khusus lagi corak Mu’tazilah (laun al-I’tizȃl).[7]
Al-Zamakhsyari sebagai tokoh Mu’tazilah yang
benar-benar menguasai bahasa Aarab dan balaghah, sering menggunakan keahliannya
itu untuk membela alirannya itu. Misalnya saja tatkala menafsirkan surah al-An’ȃm
ayat 158 sebagai berikut:
هَلۡ
يَنظُرُونَ إِلَّآ أَن تَأۡتِيَهُمُ ٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ أَوۡ يَأۡتِيَ رَبُّكَ أَوۡ
يَأۡتِيَ بَعۡضُ ءَايَٰتِ رَبِّكَۗ يَوۡمَ يَأۡتِي بَعۡضُ ءَايَٰتِ رَبِّكَ لَا
يَنفَعُ نَفۡسًا إِيمَٰنُهَا لَمۡ تَكُنۡ ءَامَنَتۡ مِن قَبۡلُ أَوۡ كَسَبَتۡ فِيٓ
إِيمَٰنِهَا خَيۡرٗاۗ قُلِ ٱنتَظِرُوٓاْ إِنَّا مُنتَظِرُونَ ١٥٨
Artinya: yang
mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan Malaikat kepada mereka (untuk
mencabut nyawa mereka) atau kedatangan (siksa) Tuhanmu atau kedatangan beberapa
ayat Tuhanmu[524]. pada hari datangnya ayat dari Tuhanmu, tidaklah bermanfaat
lagi iman seseorang kepada dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau
Dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya.
Ia berkata:”Apabila
tanda-tanda kiamat itu telah datang, yaitu tanda-tanda yang menekan perasaan
dan membuat orang lari mencari perlindungan, maka lenyaplah segala ketenangan
hati orang yang menghadapinya. Maka saat itu, tidak ada lagi gunanya iman
seseorang bagi dirinya sendiri, jika ia sebelum datangnya tanda-tanda tersebut
ia tidak beriman, atau ia beriman tapi tidak melakukan perbuatan yang baik
dengan keimanannya itu. Seperti yang anda lihat, tidak ada bedanya antara seorang kafir yang
beriman setelah terlambat dan seorang yang beriman pada waktnya tapi tidak
melakukan perbuatan baik...
Ayat di atas
menjadi argumen kuat bagi dirinya, yang menegaskan bagaimana sikapnya terhadap
pandangan Mu’tazilah, yaitu al-manzilat
baina al-manzilatain.[8]
4. Penilaian Terhadap Tafsir Al-Kasysyȃf
Dikalangan para ulama, tafsir al-Kasysyȃf
sangat terkenal karena kepiawaian Al-Zamakhsyari dalam mengungkapkan
kemukjizatan al-Qur’an, terutama mengenai keindahan balaghahnya. Mereka bahkan mengatakan bahwa tafsir inilah yang pertama kali menyingkap kemukjizatan al-Qur’an secara sempurna. Namun, tiada gading
yang tak retak. Di samping mempunyai kelebihan, tafsir al-Kasysyȃf juga
mempunyai kelemahan dan kekurangan. Berikut ini beberapa penilaian terhadap
tafsir al-Kasysyȃf.[9]
Dalam setiap tafsir ayat al-Qur’an tidak ada pengaruh batin yang didapatkan oleh pengarang. Dalil-dalil ayat tersebut
tidak bisa memalingkannya pada kebenaran, bahkan Al-Zamakhsyari memalingkan
makna tidak sesuai dengan zahirnya. Ini merupakan mengada-ada kalam Allah. Lebih
baik seandainya hanya sedikit saja, tetapi pada kenyataannya dia membahasnya
secara panjang lebar agar tidak dikatakan lemah dan kurang. Dalam hal ini,
dapat kita lihat bahwa penafsiran dalam kitab itu bercampur dengan pengaruh
aliran Mu’tazilah. Ini merupakan cacat yang sangat besar.
Kritikan lain terdapat pada pencelaan Al-Zamakhsyari
terhadap para wali-wali Allah, hal ini karena dia lupa terhadap jeleknya
perbuatan ini karena tidak mengakui adanya hamba-hamba Allah seperti itu.
Alangkah indahnya ungkapan Imam al-Razi dalam kritikannya pada Al-Zamakhsyari terhadap yang demikian. Al-Razi berkata dalam tafsir ayat 54
dalam surah al-Mȃ’idah. Dalam kesalahan dan bahaya karena telah mencela
para kekasih Allah, dan telah menulis sesuatu yang tidak layak dan sesuatu
kejelekan terhadap mereka-mereka yang dicintai Allah. Dia sangat berani melakukan hal ini, padahal tulisan ini dia lakukan ketika menafsirkan ayat-ayat Allah yang Majid.
Kritikan lain terhadap kitab ini terdapat pada banyaknya penyebutan syair dan amtsal. Padahal
kedua hal tersebut adalah sebuah nilai canda dan humor yang tidak pantas dengan
syariat dan akal, apalagi pada mereka penegak keadilan dan penegak tauhid.
Kritikan lainnya adalah penyebutan Ahlussunnah dengan kata-kata kotor. Terkadang disebutkan dengan golongan
mujabbarah, bahkan terkadang dikatakan dengan kaum kafir dan kaum
yang menyimpang. Padahal ucapan seperti ini hanya pantas keluar dari golongan mereka yang bodoh, bukan dari ulama yang pintar.[10]
Adapun menurut Dr. Muni’ Abd Al-Halim Mahmud
mengungkapkan, tafsir al-Kasysyaf diwarnai oleh dua hal yang sangat ditonjolkan
oleh pengarangnya sendiri, yaitu:
a. Ia adalah pendukung pendapat-pendapat Mu’tazilah. Oleh karena itu Dr. Mani’
melihat bahwa dalam menyusun tafsirnya, Al-Zamakhsyari selalu menonjolkan
perhatiannya pada pandangan Mu’tazilah. Ia bersikap berlebihan dalam
mengemukakan dukungannya pada faham Mu’tazilah, dan penentangannya terhadap
paham ahli sunnah ketika menafsirkan suatu ayat. Padahal al-Qur’an bukan kitab
yang diperuntukkan bagi suatru mazhab tertentu yang harus ditafsirkan dengan
thariqah tertentu pula.
b. Penafsiran dalam kitab tersebut dilakukan dengan mengungkapkan secara jelas
dan terang tentang kefasihan dan kebalighan ayat-ayat al-Qur’an.[11]
PENUTUP
Salah satu contoh kitab tafsir bi al-ra’yi
adalah tafsir Al-Kasysyȃf ‘an Haqȃ’iq al-Tanzȋl wa Uyȗn al-Aqȃwȋl fȋ Wujȗh
al-Ta’wȋl karya al-Zamakhsyari. Al-Zamakhsyari lahir pada tanggal 27 rajab
467H/1074M. Nama lengkapnya adalah Mahmud ibn Umar ibn Ahmad Al-Khawarizmi Al-Zamakhsyari.
Ia juga mendapat panggilan Abu Al-Qasim, dan
karena pernah lama bermukim di Mekkah, ia terkenal pula dengan panggilan Jȃr Allah (tetangga Allah). Beliau adalah seorang mufassir yang ahli bahasa dan
sastra Arab, sekaligus seorang ulama Mu’tazilah yang fanatik.
Tafsir al-Kasysyaf terdiri dari 4 jilid
adalah sebuah kitab tafsir bi al-ra’yi dengan metode tahlili,
bercorak bahasa dan sastra, corak teologis dan lebih khusus lagi bercorak
Mu’tazilah (laun al-i’tizali).
Banyak kritikan terhadap karya tafsir ini,
salah satunya ada yang berpendapat bahwa
tafsir ini adalah tafsir yang paling baik dalam menggunakan ilmu-ilmu bahasa,
nahwu, dan balaghah dalam menggali isi kandungan ayat-ayat al-Qur’an sesuai
dengan maksud dan tujuan uslubnya. Hanya saja pengaraangnya adalah pengikut
mazhab Mu’tazilah dalam bidang akidah, sehingga memberikan dalil-dalil dan
penafsirannya atas dasar pemahaman mazhab-mazhabnya yang fasid itu.
[1]Moh. Matsna HS., Orientasi semantik al-Zamakhsyari “Kajian makna
ayat-ayat kalam” (Jakarta: Anglo Media, 2006), 29
[2]
Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Sunan
Kalijaga, Studi Kitab Tafsir (Yogyakarta: TERAS, 2004), 44-47.
[5]Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Studi Kitab
Tafsir, 48-49.
[7]Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Studi Kitab
Tafsir, 51-56.
[8] Anonim, Ringkasan Metodologi Tafsir dan Kitab-kitab Tafsir Al-Qur’an
(Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2008), 79-80.
[9]Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Studi Kitab
Tafsir, 57-58.