PENDAHULUAN
Puasa
(ash-Shaum) Ramadhan merupakan salah satu rukun Islam yang ketiga.
Sebuah ibadah yang sangat penting dan merupakan keharusan bagi umat Islam untuk
mengerjakannya, sehingga Nabi saw pun bersabda bahwa puasa termasuk salah satu
dasar atau tiang yang membangun Islam, selain syahadat, shalat, haji, dan
zakat. Sebagaimana yang
diriwayatkan Ibn Umar:
عَنِ ابْنِ
عُمَرَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ " بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ
إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ،
وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَالحَجِّ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ
Namun, terkadang ada saja faktor-faktor tertentu yang menyebabkan
seseorang tidak dapat menunaikan kewajibannya, sebut saja misalnya seorang
wanita yang sedang haidh atau nifas, dia tidak dibolehkan berpuasa, namun pada
hari lain, dia harus menqadha’ (membayar) puasa yang ia tinggalkan.
Begitu juga dengan orang yang sedang dalam perjalanan. Mereka diberikan
keringanan untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan, dengan catatan harus menqadha’-nya
pada hari lain. Namun, bagi para lansia (lanjut usia) maka boleh membayar fidyah
sebagai gantinya. Hal itu telah diatur oleh Allah swt di dalam Q. S.
Al-Baqarah:
أَيَّامًا
مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ
أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ
خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
(184)
(Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu.
Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu
pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya
(jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang
miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka
itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui.
Nah, di dalam makalah ini penulis akan memaparkan pembahasan
mengenai hadis yang berkaitan dengan kewajiban mengqadha’ puasa Ramadhan
bagi yang berhalangan melaksanakannya. Semoga dengan adanya makalah ini wawasan
keilmuan kita semakin bertambah luas.
Akhirnya, tiada
gading yang tak retak, makalah ini tidaklah luput dari yang namanya kekurangan
dan kekhilafan, baik dari isi bahasan maupun dari sistematika penulisan.
Penulis mengharapkan tegur sapa dan kritik yang membangun dari para pembaca
demi perbaikan di masa yang akan datang.
WAJIBNYA MENGQADHA’ PUASA BAGI YANG BERUDZUR
A.
Pengertian Qadha’
Qadha’ adalah melakukan suatu ibadah setelah keluar dari waktu yang telah
ditentukan oleh syari’at, baik karena kerusakan dalam menunaikan atau karena
meninggalkannya secara keseluruhan, karena adanya suatu udzur atau tanpa udzur.[1]
Sehingga
Qadha’ puasa Ramadhan adalah mengganti puasa Ramadhan dengan berpuasa pada
bulan lain sebanyak hari-hari Ramadhan yang ditinggalkan.[2]
B.
Mengqadha’ Puasa Bagi yang Berhalangan
a.
Hadits Utama Tentang Kewajiban Mengqadha’ Puasa
وَحَدَّثَنَا
عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ،
عَنْ عَاصِمٍ، عَنْ مُعَاذَةَ، قَالَتْ: سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ: مَا بَالُ
الْحَائِضِ تَقْضِي الصَّوْمَ، وَلَا تَقْضِي الصَّلَاةَ. فَقَالَتْ:
أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ؟ قُلْتُ: لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ، وَلَكِنِّي أَسْأَلُ. قَالَتْ:
«كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ، فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ، وَلَا نُؤْمَرُ
بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ» (رواه مسلم)[3]
Dan telah menceritakan kepada kami Abd
bin Humaid telah mengabarkan kepada kami Abd ar-Razzāq telah mengabarkan kepada
kami Ma'mar dari ‘Āshim dari Mu'ādzah dia berkata, "Saya bertanya kepada ‘Aisyah
seraya berkata, 'Kenapa gerangan wanita yang haid mengqadha' puasa dan tidak
mengqadha' shalat? ' Maka ‘Aisyah menjawab, 'Apakah kamu dari golongan Harūriyyah? ' Aku menjawab, 'Aku
bukan Harūriyyah, akan tetapi aku hanya bertanya.' Dia menjawab, 'Kami dahulu juga
mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha' puasa dan tidak
diperintahkan untuk mengqadha' shalat'."
b.
Hadits Pendukung
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ
قَالَ: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُسْهِرٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي عَرُوبَةَ، عَنْ
قَتَادَةَ، عَنْ مُعَاذَةَ الْعَدَوِيَّةِ، عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّ امْرَأَةً سَأَلَتْهَا:
أَتَقْضِي الْحَائِضُ الصَّلَاةَ؟ قَالَتْ لَهَا عَائِشَةُ: أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ؟
قَدْ «كُنَّا نَحِيضُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ نَطْهُرُ،
وَلَمْ يَأْمُرْنَا بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ (رواه ابن ماجه)[4]
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibn Abi Syaibah, ia
berkata: telah menceritakan kepada kami ‘Ali ibn Mushir, dari Sa’īd ibn Abi
‘Arūbah, dari Qatādah, dari Mu’ādzah al-‘Adawiyah, dari ‘Aisyah bahwasanya
seorang perempuan pernah bertanya padanya: “Apakah perempuan haidh mengqadha’
shalat?. Lalu ‘Aisyah bertanya balik: “Apakah kamu dari golongan Harūriyyah?. Kami
dahulu haidh dan berada di sekitar Rasulullah saw, kemudian kami bersuci, namun
Rasulullah saw tidak memerintahkan kami untuk mengqadha’ shalat. (HR. Ibn
Majah)
C.
Takhrīj al-Hadīts
utama
Imam Ahmad
meriwayatkan hadis tersebut di dalam bab Musnad ash-Shiddiqah ‘Aisyah bint
ash-Shiddiq.[5]
Imam Abu Daud meriwayatkannya dalam bab fi al-Haidh la Tuqdha ash-Shalah .[6] Imam Nasa’i
meriwayatkannya pada bab Wadh’u ash-Shiyam ‘an al-Haidh.[7]
D.
Tahlīl al-Lafzhy
Harūriyyah: nisbah dari harūrā’, sebuah desa di dekat kota Kufah.
Tempat tersebut pernah menjadi tempat pertemuan aliran Khawārij untuk pertama
kali dan membuat kontrak perjanjian di desa tersebut. Oleh karenanya mereka
dinisbahkan dengan harūriyyah sesuai nama tempat tersebut. Adapun maksud
pertanyaan ‘Aisyah r.ha, adalah untuk menanyakan apakah perempuan tersebut
termasuk golongan harūriyyah, karena golongan tersebut dikenal suka
memerintahkan perempuan haidh untuk mengqadha’ shalat mereka yang
terlewatkan pada masa haidhnya padahal itu menyalahi kesepakatan umat Islam.[8]
Qadha’: melakukan suatu ibadah setelah keluar dari waktu yang telah
ditentukan oleh syari’at, baik karena kerusakan dalam menunaikan atau karena
meninggalkannya secara keseluruhan, karena adanya suatu udzur atau tanpa udzur.[9]
E.
Syarh al-Hadīts
Semua umat Islam
sepakat bahwa orang yang sedang haidh dan nifas tidak wajib mengerjakan shalat
dan puasa pada waktunya. Mereka juga sepakat bahwa tidak wajib mengqadha
shalat, dan wajib mengqadha puasanya. Adapun perbedaan keduanya, yakni
antara shalat dan puasa ialah di kuantitasnya. Shalat itu banyak dan
berulang-ulang sehingga sangat sulit untuk mengqadha-nya, berbeda dengan
puasa yang hanya diwajibkan sekali setahun. Boleh jadi haidh itu hanya sehari
atau dua hari saja. Sebagian ulama ada yang berkata bahwa tiap-tiap shalat yang
terlewati pada masa haidh tidak diminta (tidak diqadha) kecuali dua kali
putaran thawaf. Sebagian ulama juga ada yang berpendapat bahwa orang yang haidh
itu tidak dikhitab untuk puasa pada masa haidhnya, akan tetapi dia wajib
mengqadha puasa tersebut dengan adanya perintah yang baru, dan sebagian
ulama lainnya menyebutkan bahwa mereka tetap dikhitab untuk puasa pada
masa haidh namun diperintahkan untuk mengakhirkannya, sebagaimana dikhitabnya
orang yang berhadats untuk tetap shalat sekalipun shalat itu tidak sah jika
dikerjakan pada masa ia masih berhadats. Bagaimana mungkin puasa diwajibkan
kepadanya sekaligus diharamkan untuknya karena ketidak mampuannya untuk
menghilangkannya. Berbeda dengan orang yang berhadats, dia mampu untuk
menghilangkannya.[10]
F.
Biografi Singkat Para Perawi
a.
‘Abdu ibn Humaid
Namanya adalah
‘Abd ibn Nashr al-Kissi yang dikenal dengan nama al-Kasysyi, Abu Muhammad, dan
ada juga pendapat yang mengatakan bahwa nama beliau adalah ‘Abd al-Hamid.
Beliau termasuk perawi generasi ke-11. Beliau wafat pada tahun 249 H. Menurut
Imam Ibn Hajar, beliau termasuk perawi yang tsiqah hāfizh. Adapun
diantara perawi yang mengambil periwayatan dari beliau adalah Imam al-Bukhari,
Imam Muslim, dan Imam at-Tirmidzi.[11]
b.
‘Abd ar-Razzāq
Namanya adalah
‘Abd ar-Razzāq ibn Hammam ibn Nāfi’ al-Humairī. Beliau lahir pada tahun 126 H,
dan wafat pada tahun 211 H. Beliau termasuk perawi generasi ke-9, yakni atbā’
tābi’īn junior. Menurut Imam Ibn Hajar beliau dinilai sebagai tsiqah
hāfizh mushannif syahīr ‘ammiy pada akhir umurnya namun kemudian berubah.
Beliau juga dinilai berbau ke ”syiah-syiah”-an. Adapun yang mengambil
periwayatan dari beliau diantaranya adalah: Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam
Abu Daud, Imam at-Tirmidzi, Imam an-Nasa’i, Imam Ibn Majah.[12]
c.
Ma’mar
Nama beliau
adalah Ma’mar ibn Rāsyid al-Azadī al-Hadanī. Beliau lahir pada tahun 96
H, dan wafat pada tahun 154 H. Beliau termasuk perawi generasi ke-7, yakni atbā’
tābi’īn senior. Beliau dinilai tsiqah oleh Imam Ibn Hajar. Adapun
yang mengambil periwayatan dari beliau diantaranya adalah: Imam al-Bukhari,
Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam at-Tirmidzi, Imam an-Nasa’i, Imam Ibn Majah.[13]
d.
‘Āshīm
Nama beliau
adalah ‘Āshīm bin Bahdalah yakni Ibn Abi an-Nujūd. Beliau wafat pada tahun 128
H. Beliau termasuk perawi generasi ke-6. Beliau dinilai shadūq lahu awhām.
Adapun yang mengambil periwayatan dari beliau diantaranya adalah: Imam
al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam at-Tirmidzi, Imam an-Nasa’i, Imam
Ibn Majah.[14]
e.
Mu’ādzah
Namanya adalah
Mu’ādzah binti ‘Abdullah al-‘Adawiyah. Dia termasuk tabi’in generasi ke-3.
Menurut Imam adz-Dzahabi beliau wafat pada tahun 83 H. Dia termasuk perawi yang
tsiqah menurut Imam Ibn Hajar. Adapun yang mengambil periwayatan hadits
darinya antara lain: Imam Bukhari, Imam Muslim, Abu Daud, at-Tirmidzi,
an-Nasa’i, dan Ibn Majah.[15]
PENUTUP
Dari
hadis-hadis di atas tadi dapat kita ambil kesimpulan bahwa puasa itu merupakan
ibadah yang sangat penting, dan harus dilaksanakan oleh seluruh kaum muslimin
yang mukallif, di manapun mereka berada. Namun jika seandainya mereka dalam
keadaan yang tidak memungkinkan untuk melaksanakan ibadah puasa, dikarenakan
udzur yang bisa dibenarkan oleh syariat, seperti halnya perempuan yang haidh,
atau orang yang sedang musafir dan lain sebagainya, maka dibolehkan baginya
tidak berpuasa. Mereka
diberikan keringanan untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan, dengan catatan
harus menqadha’-nya pada hari lain. Namun, bagi para lansia (lanjut
usia) maka boleh membayar fidyah sebagai gantinya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
al-Karīm.
Al-Maktabah
asy-Syāmilah.
Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail, al-Jami’ al-Musnad ash-Shahih
al-Mukhtashar min Umur Rasulillah shalallahu alaihi wa sallam wa sunanuh wa
ayyamuh: Shahih al-Bukhari juz 3, T.tp: Dar Thauq an-Najah, 1422 H.
An-Naisaburi,
Muslim bin al-Hajjaj, al-Musnad ash-Shahih al-Mukhtashar bi Naql al-‘Adl ‘an
al-‘Adl ila Rasulillah shallallahu ‘alaih wa sallam, Beirut: Dar Ihya
at-Turats al-‘Arabiy, t.th.
An-Nasa-i,
Ahmad bin Syu’aib, al-Mujtaba min as-Sunan: as-Sunan ash-Shughra li
an-Nasa-i, Halb: Maktab al-Mathbu’ah al-Islamiyah, 1986.
Al-Madani,
Malik bin Anas bin Malik al-Ashbahiy, Muwatha’ al-Imam Malik, Beirut:
Dar Ihya at-Turats al-‘Arabiy, 1985.
Al-Qasthalani, Ahmad bin Muhammad, Irsyȃd
as-Sȃrî li Syarh Shahîh al-Bukhȃri, Mesir: al-Mathba’ah al-Kubra
al-Amiriyyah, 1323 H.
Al-Qazwini,
Ibnu Majah Muhammad bin Yazid, Sunan Ibn Majah, T.tp: Dar Ihya al-Kutub
al-‘Arabiyah, t.th.
As-Sijistani,
Abu Daud Sulaiman bin Ishaq, Sunan Abi Daud, Beirut: al-Maktabah
al-‘Ashriyyah, t.th.
As-Suyuthi,
Abdurrahman bin Abi Bakar, ad-Diba ‘ala Shahih Muslim ibn al-Hajjaj,
Arab Saudi: Dar Ibn ‘Affan, 1996.
Asy-Syaibani,
Abu ‘Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal,
T.tp: Muassasah ar-Risalah, 2001.
At-Tirmidzi,
Muhammad bin Isa, al-Jami’ al-Kabir: Sunan at-Tirmidzi, Beirut: Dar
al-Gharb al-Islami, 1998.
[1]
http://kumpulanmateriagama.blogspot.co.id/2016/01/pengertia-dan-hukum-puasa-qadha.
html?m=1, diakses pada minggu, 21 April 2017.
[2] H. Imran
Effendy Hasibuan, Qadha, Fidyah, dan Kifarat Puasa Ramadhan, di dalam
http://muibukitbestari-tpi.blogspot.co.id/2011/07/qadha-fidyah-kifarat-puasa-ramadhan.html?m=1.
Diakses pada minggu, 21 April 2017.
[3] Muslim bin
al-Hajjaj An-Naisaburi, al-Musnad ash-Shahih al-Mukhtashar bi Naql al-‘Adl
‘an al-‘Adl ila Rasulillah shallallahu ‘alaih wa sallam juz 1, (Beirut: Dar
Ihya at-Turats al-‘Arabiy, t.th), 265. Diambil dari al-Maktabah asy-Syāmilah.
[4] Ibn Majah, Sunan
Ibn Majah, (t.t: Dār Ihyā al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.th), 207.
Diambil dari al-Maktabah asy-Syāmilah.
[5] Abu ‘Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Musnad
al-Imam Ahmad bin Hanbal juz
43, (T.tp: Muassasah ar-Risalah, 2001), 105. Diambil dari
al-Maktabah asy-Syāmilah.
[6] Abu Daud Sulaiman bin Ishaq As-Sijistani, Sunan
Abi Daud juz 1, (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah, t.th), 69. Diambil dari
al-Maktabah asy-Syāmilah.
[7] An-Nasa-i, Ahmad bin Syu’aib, al-Mujtaba min as-Sunan: as-Sunan
ash-Shughra li an-Nasa-i juz 8, (Halb: Maktab al-Mathbu’ah al-Islamiyah,
1986), 191. Diambil dari al-Maktabah asy-Syāmilah.
[8] Jalāluddīn as-Suyūthi, ad-Dībāj ‘ala Shahīh Muslīm ibn al-Hajjāj
juz: 2 (Arab Saudi: Dār Ibn ‘Affān, 1996), 91. Dalam al-Maktabah asy-Syāmilah.
[9]
http://kumpulanmateriagama.blogspot.co.id/2016/01/pengertia-dan-hukum-puasa-qadha.
html?m=1, diakses pada minggu, 21 April 2017.
[10] Al-Qasthalani,
Ahmad bin Muhammad, Irsyȃd as-Sȃrî li Syarh Shahîh al-Bukhȃri juz 1, (Mesir:
al-Mathba’ah al-Kubra al-Amiriyyah, 1323 H), 26-27. Diambil dari
al-Maktabah asy-Syāmilah.
[11] Dikutip dari al-Maktabah asy-Syāmilah
[12] Dikutip dari al-Maktabah asy-Syāmilah
[13] Dikutip dari al-Maktabah asy-Syāmilah
[14] Dikutip dari al-Maktabah asy-Syāmilah
[15] Dikutip dari al-Maktabah asy-Syāmilah