Blogroll

KETENTUAN-KETENTUAN TARJIH PADA RIWAYAT

PENDAHULUAN
            Ilmu Asbabun Nuzul temasuk di antara ilmu-ilmu yang penting. Ilmu ini menunjukkan hubungan antara dialektika antara teks dengan realitas yang ada . Asbabun Nuzul membahas kasus-kasus yang menjadi sebab turunnya beberapa ayat al-Qur’an macam-macamnya, redaksi-redaksinya, tarjih riwayat-riwayatnya dan faedah dalam mempelajarinya.
            Apabila salah satu dari dua buah dalil yang nampaknya berlawanan itu tidak diketahui mana yang datangnya belakangan, maka tidak akan terjadi nasakh mansukh. Dalam menghadapi keadaan yang demikian ini seorang mujtahid hendaklah meneliti dua dalil tersebut yang lebih kuat, yang dalam istilah usul fiqih usaha tersebut disebut dengan men-tarjih.
            Tarjih bagi mereka diartikan dengan menjadikan sesuatu yang lebih kuat atau mempunyai kelebihan dari pada yang lain. Sedang ulama Hanafiah membuat batasan tarjih ialah menyatakan keistimewaan salah satu dari dua dalil yang sama dengan suatu sifat yang menjadikan lebih utama dilihat dari yang lain. Dalil ini tidak akan dipakai selain kepada dalil-dail zhanniatuts tsubut (dalil yang petunjuk isinya zhonni), seperti al-Qur’an dan Hadis yang mutawatir ber-dalalah zhonni atau hadis ahad yang dhalalah-nya zhonni. Dengan demikian tarjih itu hanya terjadi pada nask-nask al-Qur’an dan hadis mutawatir yang dhalalah-nya zhonni atau qotiah.






A.           Pola Tarjih Dalam Perbedaan Asbab Al-Nuzul
Dalam pembahansan ini kami akan membahas mengenai pola atau bagaimana cara menentukan mana riwayata yang paling benar dari beberapa riwayat yang lain. Karena sangat mungkin ditemukan adanya riwayat dan cerita yang beragam dan berbeda antara satu dengan yang lain tentang ayat al-qur’an, para ulama membuat pedoman bagaimana pemilihan salah satu yang paling benar diantara  beberapa riwayat yang aa. Secara garis besar, ada enam aspek yang harus diperhatikan dalam peroses tarjih ini, yaitu: formulalasi kata, ke-shahihan sanad,  kesesuaian redaksi ayat dengan makna ayat, hubungan dengan pemberi kisah dengan kejadian yang sebenarnya, kesesuaian denga  konteks al-Qur’an, dan di lihat dari fakta-fakta sejarah.[1]
Persfektif ulama dalam tarjih  sendiri juga berbeda antara satu dengan yang lainnya. Di bawah ini adalah tarjih al-Suyuti  yang dibahasakan ulang oleh Manna’ alQaththan dalam kitabnya Mabâhits fi ‘ulȗmil Qur’an.[2]
B.            Tarjih Berdasarkan Kedekatan Cerita dengan pembawa ceritanya
Kaidah ini dalam cerita seseorang yang mengalami sendiri peristiwa didalam ceritanya didahulukan cerita dari seseorang  yang hanya mendengarkan saja atau tidak menyaksikannya secara langsung.[3] Ataupun jika sang pembawa cerita tidak mengalami secara langsung peristiwa tersebut, kesaksiannya yang telah melihat peristiwa tersebut lebih di utamakan daripada cerita orang lain yang tidak  menyaksikannya secra langsung. Dengan kaidah ini riwayat istri-istri nabi mengenai kehidupan domestiknya lebih diutamakan.[4] Contohnya adala ayat kalalah (seseorang yang meninggal dan tidak memiliki ayah dan ibu) dalam surat an-Nisa: 176
يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلاَلَةِ إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ وَهُوَ يَرِثُهَا إِن لَّمْ يَكُن لَّهَا وَلَدٌ فَإِن كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ وَإِن كَانُواْ إِخْوَةً رِّجَالاً وَنِسَاء فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنثَيَيْنِ يُبَيِّنُ اللّهُ لَكُمْ أَن تَضِلُّواْ وَاللّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ -١٧٦
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang Kalālah). Katakanlah, “Allah Memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudara-nya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah Menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Mengenai ayat ini, riwayat Jabir yang menjadi langsung dan mengalami sendiri peristiwa yang menjadi sebab  turunnya al-Qur’an lebih dipegangi daripada riwayat Ibnu Musayyab yang tidak mengalaminya lansung. Jabir menceritakan ketika ia sakit, rasul bersama Abu Bakar mengunjungiya yang tengah hampir pingsan. Rasul berwudhu dan langsung mengusapkan air wudhunya ke wajah Jabir, sehingga ia siuman. Jabir lalu menanyakan kepada Rasulullah tentang hartanya (apabila ia meninggal). Rasul diam beberapa saat sampai turun ayat tentang warisan kalalah tersebut.[5] Cerita Jabir ini lebih kuat daripada Ibnu Musayyab bahwa ketika ‘Umar ditanya mengenai kalalah, turunlah ayat tersebut.[6]
C.           Tarjih Berdasarkan Informasi al-Qur’an
Menurut Khâlid Ibn Sulaimân dalam praktiknya, para mufassir bahkan seringkali menolak Sabab al-Nuzul yang sanad-nya sahih jika tidak berkesesuaian dengan konteks narasi yang diberikan al-Qur’an. Misalnya Abȗ Hayyân alAndalȗsȋ yang mengabaikan sebuah riwayat  Sabab al-Nuzul al-Tirmizȋ dan Ibn Mâjah mengenai surat al-Baqarah ayat 115.
وَلِلّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّواْ فَثَمَّ وَجْهُ اللّهِ إِنَّ اللّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ -١١٥-
Dan milik Allah timur dan barat. Kemana pun kamu menghadap di sanalah wajah Allah. Sungguh, Allah Maha Luas, Maha Mengetahui.(QS: al-Baqarah, 2/115)

           At-tirmizȋ meriwayatkan suatu  hari  Amȋr ibn Rabȋ’ah  bepergian di malam hari bersama Rasulullah  ketika hendak shalat, mereka yidak bisa mengetahui arah kiblat karena nya gelapnya malam. Lalu masing-masing dari rombongan mereka mengerjakan shalat. Keesokannya harinya, merka mencertakan hal tersebut kepada rasulullah, dan turunlah surat al-Baqarah ayat 115 yang menegaskan bahwa segala penjuru milik Allah.[7]
            Meskipun riwayat ini sahih, Abȗ Hayyân tidak memakainya, karena ia menganggapnya bertentangandengan informasi al-Qur’an pada ayat sebelumnya, al-Baqarah 114.
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّن مَّنَعَ مَسَاجِدَ اللّهِ أَن يُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ وَسَعَى فِي خَرَابِهَا أُوْلَـئِكَ مَا كَانَ لَهُمْ أَن يَدْخُلُوهَا إِلاَّ خَآئِفِينَ لهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَلَهُمْ فِي الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ -١١٤-

Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang melarang di dalam masjid-masjid Allah untuk menyebut nama-Nya, dan berusaha merobohkannya? Mereka itu tidak pantas memasukinya kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka mendapat kehinaan didunia dan di akhirat mendapat azab yang berat.(QS: al-Baqarah 114).
           Menurut  Abȗ Hayyân, susunan ayat 114 dan 115 menunjukkan makna. Ketika usaha dari musuh-musuh islam untuk melarang dzikir kepada Allah di dalam mesjid-mesjid dan menghancurkan mesji-mesjid  tersebut, itu semua tidak menjadikan umat islam tidak bisa menunaikan shalaat dan mengingat Allah karena pada hakikatnya, Timur dan Barat hanyalah milik Allah.[8] Kearah mana saja melakukan ibadah dan di mana saja  kita akan tetap dilihat dan diberi pahala oleh-Nya.[9]
           Dalam kaidah tarjih ini, keraguan-keraguan mengenai keabsahan beberapa Sabâbun nuzȗl bisa diminalisir. Misalnya saja Sabâbun nuzȗl surat al-‘Imran ayat 169-171.
وَلاَ تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ أَمْوَاتاً بَلْ أَحْيَاء عِندَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ ١٦٩ فَرِحِينَ بِمَا آتَاهُمُ اللّهُ مِن فَضْلِهِ وَيَسْتَبْشِرُونَ بِالَّذِينَ لَمْ يَلْحَقُواْ بِهِم مِّنْ خَلْفِهِمْ أَلاَّ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُون١٧٠يَسْتَبْشِرُونَ بِنِعْمَةٍ مِّنَ اللّهِ وَفَضْلٍ وَأَنَّ اللّهَ لاَ يُضِيعُ أَجْرَ الْمُؤْمِنِينَ ١٧١

Dan jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; sebenarnya mereka itu hidup, di sisi Tuhan-nya mendapat rezeki. Mereka bergembira dengan karunia yang Diberikan Allah kepadanya, dan bergirang hati terhadap orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati. Mereka bergirang hati dengan nikmat dan karunia dari Allah. Dan sungguh, Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beriman. (QS: al-‘Imran, 4/169-171)
           Yang menurut riwayatbn ‘Abbâs “terjadi perang Uhud, sesuai dengan isi kandungan  ayat yang memang menceritakan tentang jiwa-jiwa yang terbunuh dalam jihad.[10]
D.            Tarjih Menunjukkan Fakta Sejarah Al-Qur’an
Sejarah turunnya al-qur’an terbentuk dari cerita-cerita generasi terdahulu dan peristiwa-peristiwa masa lalu[11], tetapi esensial dalam pentarjihan antara riwayat-riwayat  pada asbabun nuzul. Dan sebelumnya telah disebutkan contoh ynag menunjukkan masa yang nampak. Bahwasanya peristiwa yang terjadi tidak lepas dari dua hal.
a.       Ayat-ayat yang turun berkaitan dengan adanya peristiwa atau kejadian
b.      Kejadian atau peristiwa yang menjadi latar belakang turunnya ayat, dan ini terbagi kepada dua;
a)    Terjadinya peristiwa sebelum hijrah, sehingga ayat turun setelah terjadi peristiwa.
b)   Peristiwa atau kejadian dan turunnya ayat bersamaan sebelum hijrah atau setelah  hijrah pada masa yang berdekatan dan ini menurut kebiasaan.
apabila Makkiyyah dan Madaniyah tidak terealisasikan kebenarannya dalam menyimpulkan, maka tidak ada hubungan daripada sebab turunnya ayat yang pasti terjadi kesalahan. Oleh karena itu sebagian para mufassir meneliti ayat Makkiyah dan sebab terjadinya. Sehingga tidak ada larangan dari perkataan dengan adanya sebab turunnya ayat.[12]
Masrȗ al-Azda’ al-Wâdȋ’i bersikukuh bahwa yang dimaksud Bani Israil  dalam surat al-Ahqaf ayat 10
قُلْ أَرَأَيْتُمْ إِن كَانَ مِنْ عِندِ اللَّهِ وَكَفَرْتُم بِهِ وَشَهِدَ شَاهِدٌ مِّن بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى مِثْلِهِ فَآمَنَ وَاسْتَكْبَرْتُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Katakanlah, “Terangkanlah kepadaku, bagaimana pendapatmu jika sebenarnya (al-Quran) ini datang dari Allah, dan kamu mengingkarinya, padahal ada seorang saksi dari Bani Israil (Yang dimaksud dengan “seorang dari Bani Israil” ialah Abdullah bin Salam. Dia menyatakan keimanannya kepada Nabi Muhammad saw. setelah memperhatikan bahwa di antara isi al-Quran ada yang sesuai dengan Taurat, seperti ajaran tauhid, janji dan ancaman, kerasulan Nabi Muhammad saw, adanya kehidupan akhirat, dan sebagainya) yang mengakui (kebenaran) yang serupa dengan (yang disebut dalam) al-Quran lalu dia beriman; kamu menyombongkan diri. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”(QS: al-Ahqâf 10)
           Bukanlah ‘Abdullah bin Salam. Ayat ini menurutnya turun di Mekkah dalam sejarahnya. ‘Abdullah bin Salam baru masuk islam pada periode Madinah.[13] Sama jga dengan yang dtunjuk oleh Qur’an sebagai seseorang yang memiliki ilmu tentang al-Kitab dalam surat ar-Ra’d ayat 43
وَيَقُولُ الَّذِينَ كَفَرُواْ لَسْتَ مُرْسَلاً قُلْ كَفَى بِاللّهِ شَهِيداً بَيْنِي وَبَيْنَكُمْ وَمَنْ عِندَهُ عِلْمُ الْكِتَابِ
Dan orang-orang kafir berkata, “Engkau (Muhammad) bukanlah seorang Rasul.” Katakanlah, “Cukuplah Allah dan orang yang menguasai ilmu al-Kitab(Ulama-ulama ahli kitab yang memeluk Islam) menjadi saksi antara aku dan kamu.” (QS: ar-Ra’d 43)
S’ad Ibn Jubair menolak bahwa yang dimaksud ayat tersebut bukanlah ‘Abdullah Bin Salam karena ayat ini turun di Mekkah. Bn Taimiyah juga menolak pendapat beberapa kalangan  yang mengatakan bahwa dalam surat al-Insân ayat 1

Bercerita tentang ‘Ali Fatimah, Hasan dan Husain . menurtnya ayat ini adalah Makiyyah sementara ‘Ali dan Fatimah di Madinah. Sementara Hasan baru lahir di tagun ke- 3 Hijriyah dan Husain atu tahun setelahnya.
 Contoh sabâbun nuzȗl al-‘imrân ayat 128
لَيْسَ لَكَ مِنَ الأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذَّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ -١٢٨-
Itu bukan menjadi urusanmu (Muhammad) apakah Allah Menerima tobat mereka, atau Meng-azabnya, karena sesungguhnya mereka orang-orang zalim. (QS:al-‘imrân 128)
Al-Bukhârȋ dan Muslim meriwayatkan dari Abȗ Hurairah bahwa nabi ketika hendak mendo’akan seseorang. Baik untuk memintakan untuknya kebaikan atau mengharapkan laknat atas orang tersebut. Ia akan diam sejenak dan setelah ruku’ dan mendo’akam orang tersebut setelah melafalkan “rabbanâ wa laka al hamdu”,  hadits ini tidak mungkin menjadi sabâbun nuzȗl ayat di atas, karena ayat tersebut membicarakan  perang Uhud  yang terjadi pada 3 Hijriyah.[14] Sementara do’a nabi memintakan laknat terhadap kabilah-kabilah  dalam sabâbun nuzȗl terjadi setelah para kabilah tersebut membunuh para pengajar al-Qur’an dan di sumur ma’unah sekitar tahun ke 4 Hijriyah.







PENUTUP
Penarjihan dari fakta sejarah dapat ditinjau dari peristiwa yang terjadi, yaitu:
1.      Ayat-ayat yang turun berkaitan dengan adanya peristiwa atau kejadian
2.      Kejadian atau peristiwa yang menjadi latar belakang turunnya ayat, dan ini terbagi kepada dua;
a)      Terjadinya peristiwa sebelum hijrah, sehingga ayat turun setelah terjadi peristiwa.
b)      Peristiwa atau kejadian dan turunnya ayat bersamaan sebelum hijrah atau setelah  hijrah pada masa yang berdekatan dan ini menurut kebiasaan.
Apabila Makkiyyah dan Madaniyah tidak terealisasikan kebenarannya dalam menyimpulkan, maka tidak ada hubungan daripada sebab turunnya ayat yang pasti terjadi kesalahan. Oleh karena itu sebagian para mufassir meneliti ayat Makkiyah dan sebab terjadinya. Sehingga tidak ada larangan dari perkataan dengan adanya sebab turunnya ayat.












DAFTAR PUSTAKA
‘Abdurrahman, Khâlid. Tashȋl al-Wushȗl Ila Ma’rifat Asbâbun Nuzȗl. Bairut: Dar al-Ma’rifat. 1997.

Dahlan, K. H. Q. Shaleh, H. A. A., dkk. Asbâbun Nuzȗl: Latar Belakang Histori Turunya Ayat-Ayat al-Qur’an. Bandung: CV Dipenorogo. 2009.

al-Humaidân, ‘Ashâm bin ‘Abdul Muhshan. ash-Shahih Asbâbun Nuzȗl. Bairut: Dar Dzakhâir. 1999.

Khalid bin Sulaiman. al-Muharrar Fȋ Asbâb an-Nuzȗl Al-Qur’an. Dar Ibn al-Zuzi. 1427 H.

al-Mazȋnȋ, Khâlid bin Sulaimâm. al-Muharar   Asbâbun Nuzȗl. Dar Ibnu jȗzȋ: 1426 H
Manna khalil al-qaththan, Mabâhits Fȋ ‘Ulȗmul Qur’an.

Muhaisan, M. Salim. Fathurrahman Fȋ Asbâbun Nuzȗl al-Qur’an. Madinah: Dar al-Afân al’Arabiyah. 1999.

Munandar, Arif. Ter.  Asbâbun Nuzȗl: Penjelasan Lengkap Sebab-Sebab Turunya Ayat-Ayat Al-Qur’an. Solo: Zamzam, 2014.

al-Nasbȗrȋ, Abȋ Hasan Alȋ bin Ahmad al-Wahidȋ. Asbâbun Nuzȗl. Bairut: Dar al-Fikr. 1991.

Qadafy, Mu’ammar Zaya. Buku Pintar Sababun  Nuzȗl Dari Mikro Hingga Makro. Yogyakarta:  IN Azna Books. 2015.

al-Qaththan, Manna’ Khalil. studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Jakarta: Antarnusa. 2014.

Rasyȋd, ‘Imâduddȋn Muhammad. Asbâb an-Nuzȗl Wa Asarahâ Fȋ Bayân an-Nushȗsh. t.t: Dar asy-Syihâb.

As-Suyuthi, Jalaluddin. al-Itqân Fȋ ‘Ulȗmil Qur’an. Bairut: Dar al-Fikr. 2012.

al-Wâda’ȋ, Abȋ ‘Abdurrahman Haqbal bin Hâdȋ. as-Shahȋh al-Musnad Min Asbâbun Nuzȗl. Maktabah Shan’â al-Atsariyyâh. 2004.




[1]Khalid bin Sulaiman, al-Muharrar Fȋ Asbâb an-Nuzȗl Al-Qur’an, (Dar Ibn al-Zuzi, 1427 H) 158-156.
[2]Manna’ Khalil al-Qaththan< studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Jakarta: Antarnusa, 2014)
[3]‘imâduddȋn Muhammad Rasyȋd, Asbâb an-Nuzȗl Wa Asarahâ Fȋ Bayân an-Nushȗsh, (t.t: Dar asy-Syihâb), 180
[4]Jalaluddin As-Suyuthi, al-Itqân Fȋ ‘Ulȗmil Qur’an, (Bairut: Dar al-Fikr, 1951), 31.
[5]Abȋ ‘Abdurrahman Haqbal bin Hâdȋ al-Wâda’ȋ, as-Shahȋh al-Musnad Min Asbâbun Nuzȗl, (Maktabah Shan’â al-Atsariyyâh, 2004), 94.
[6]Abȋ Hasan Alȋ bin Ahmad al-Wahidȋ al-Nasbȗrȋ, Asbâbun Nuzȗl, (Bairut: Dar al-Fikr, 1991), 125.
[7]K. H. Q. Shaleh, H. A. A. Dahlan, dkk, Asbâbun Nuzȗl: Latar Belakang Histori Turunya Ayat-Ayat al-Qur’an,(Bandung: CV Dipenorogo, 2009), 35.
[8]Khâlid ‘Abdurrahman al-‘Ik, Tashȋl al-Wushȗl Ila Ma’rifat Asbâbun Nuzȗl, (Bairut: Dar al-Ma’rifat, 1997), 34-35.
[9]Mu’ammar Zaya Qadafy, Buku Pintar Sababun  Nuzȗl Dari Mikro Hingga Makro,  (Yogyakarta:  IN Azna Books, 2015), 60-61.
[10]Ter. Arif Munandar, Asbâbun Nuzȗl: Penjelasan Lengkap Sebab-Sebab Turunya Ayat-Ayat Al-Qur’an, (Solo: Zamzam, 2014), 112. Lihat juga dalam kitab M. Salim Muhaisan, Fathurrahman Fȋ Asbâbun Nuzȗl al-Qur’an, (Madinah: Dar al-Afân al’Arabiyah, 1999), 51.
[11]Manna khalil al-qaththan, Mabâhits Fȋ ‘Ulȗmul Qur’an,
[12]Khâlid bin Sulaimâm al-Mazȋnȋ, al-Muharar  fȋ  Asbâbun Nuzȗl,  (Dar Ibnu jȗzȋ: 1426 H)
[13]‘Ashâm bin ‘Abdul Muhshan al-Humaidân, ash-Shahih Asbâbun Nuzȗl, (Bairut: Dar Dzakhâir, 1999), 286.
[14]M. Salim Muhaisan, Fathurrahman Fȋ Asbâbun Nuzȗl al-Qur’an, (Madinah: Dar al-Afân al’Arabiyah, 1999), 49.
close
==[ Klik disini 1X ] [ Close ]==