- Pendahuluan
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada nabi
Muhammad Shalallâh ‘Alayh Wasallam melalui perantara malaikat Jibril ‘Alayh
Sallam, yang mana seluruh umat wajib mengimaninya, dan meyakininya sebagai
kitab Allah yang mulia.
Al-Qur’an merupakan undang-undang umat muslimin, yang bersifat Shâlih li
kulli zamân wa makân, berlaku sampai akhir kehidupan dunia. Di dalamnya,
terdapat hukum-hukum Allah, ketauhidan, kebudayaan, bahkan ilmu sosial, bisa
dikatakan bahwa segala apa yang ada di dunia ini tercantum di dalam Al-Qur’an,
demikianlah keagungan dan kemuliaan Allah sebagai sang pencipta.
Selain itu, Al-Qur’an dalam Islam bukan hanya sebagai
sumber ajaran saja, melainkan juga sebagai landasan utama sumber pemikiran dan
peradaban Islam. Oleh karena itu, menurut M. Quraish Shihab sudah selayaknya
Al-Qur’an menempati posisi yang sentral dalam perkembangan ilmu-ilmu keislaman,
menjadi motivator-inspirator, pemandu gerakan umat Islam sepanjang sejarahnya.
Jika demikian halnya, maka permasalahan terhadap ayat Al-Qur’an melalui
penafsiran-penafsirannya mempunyai peranan yang sangat besar bagi maju
mundurnya umat. Dari penafsiran-penafsiran itulah mencerminkan corak penafsiran
dan pemikiran mereka.
Pada masa awal Islam, penafsiran yang dilakukan kaum
muslimin terhadap Al-Qur’an baru dengan ayat-ayat Al-Qur’an sendiri, hadits
Nabi, dan atsar sahabat yang dalam perkembangan disebut metode bi al ma’tsûr.
Setelah itu muncul berbagai macam metode penafsiran yang terkadang mereka
sesuaikan dengan zaman dan budaya pada masa ia menulis tafsir tersebut.
Kemudian setelah terjadi sentuhan budaya dan pesatnya
ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh
pelopor di Benua Erofa yang melahirkan revolusi perancis maka muncullah
istilah “tafsir modern”.
Adapun terhadap ayat-ayat kauniyyah dari ayat-ayat
al-Qur’an, memang tidak ada yang secara tegas dan khusus ditujukan kepada para
ilmuwan untuk mengkaji, namun pada hakikatnya, mereka inilah yang diharapkan
untuk terjun melakukan penelitian dan mengkaji serta memahami makna-makna yang
tersurat dan yang tersirat dari ayat-ayat kauniyyah. Karena hanya orang-orang
yang ahli dan mempunyai saran serta kompetensi dalam bidangnyalah yang bisa dan
mampu untuk menggali secara lebih komprehensif dan teliti dalam melakukan tugas
tersebut sehingga hasil dari kajian dan penelitian tersebut akan benar-benar
memberikan manfaat bagi umat manusia.
Dengan demikian, besar harapan para ilmuwan-ilmuwan
muslim tergerak dan termotivasi untuk mengeksplorasi ayat-ayat al-Qur’an yang
berdimensi ilmiah dan berusaha menafsirkan serta menggali makna yang terkandung
di dalamnya serta menjadikannya sebagai inspirasi untuk menghasilkan
penemuan-penemuan baru yang bermanfaat bagi umat manusia dan dengan semakin
berkembangnya sains dan teknologi ini pula mendorong munculnya corak baru dalam
bidang penafsiran yang dikenal pada saat ini sebagai penafsiran ilmiah atau
Tafsir 'Ilmy (Sciences Exegesis) yang cukup banyak menarik perhatian para
intelektual muslim dan permasalahan (Tafsir 'Ilmy) ini pula yang akan menjadi
pokok pembahasan penulis dalam makalah ini.
Sebagaimana al-Qur’an telah banyak menyinggung tentang
alam semesta, tafsir al-Qur’an juga mengalami kemajuan dan perkembangan corak
ragamnya, tidak seperti periode awal, di era kontemporer makin bermunculan
corak tafsir ‘ilmi yang salah satunya adalah mengenai al-ilm al-thabi’iyah atau
ilmu sains. Tantawi Jauhari merupakan salah satu ilmuan kontemporer yang
melakukan terobosan penafsiran jenis ‘ilmi, ia menulis kitab tafsir yang diberi
judul Al-Jawahir yang banyak mengupas tentang sains dan ilmu pengetahuan. Terlepas dari kontroversi boleh tidaknya tafsir bil 'ilmi, yang
pasti tafsir ini memberi kontribusi penting dalam dunia penafsiran.
- Biografi Mufassir
Nama lengkap
Tantawi adalah Tantawi Jauhari al-Mishri. Beliau Dilahirkan pada tahun 1287 H/
1870 M.[1] di sebuah desa
yang terletak di sebelah timur Mesir yang bernama Kifr ‘Iwadillah.[2] Tantawi
Jauhari dilahirkan dalam keluarga yang berprofesi sebagai petani. Hal ini juga
dapat dikuatkan dengan kondisi sosio-ekonomi desa tersebut yang mayoritas mata
pencaharian penduduknya berprofesi sebagai petani, sehingga Tantawi kecil pun
melewati masa kecilnya selain belajar juga membantu orangtuanya sebagai petani.[3]
Tantawi tumbuh
menjadi seorang anak yang cerdas dan tegas, sehingga tidak aneh jika dalam
bidang keilmuan (akademik) Tantawi mampu menjadi anak yang berprestasi dan
mengalami kemajuan yang pesat. Semangat belajar yang sangat kuat dan tinggi
terhadap ilmu pengetahuan dapat dilihat dalam diri Tantawi. Ketertarikannya pun
tidak sebatas dalam bidang agama saja namun dalam bidang ilmu pengetahuan
murni, seperti fisika, astronomi, biologi dan lain-lain. Dari ketertarikan
beliau pada bidang inilah yang nantinya banyak memperkuat argumentasi bahwa
agama sejalan dengan sains dan tidak menentang sama sekali kemajuan sains dan
teknologi. `
Tantawi hidup pada masa kebangkitan umat Islam
khususnya di Mesir, yakni setelah terjadinya perang dunia 1 (1914-1918). Dalam
kondisi sosio-politik yang sedang bergejolak, beliau aktif sebagai pelopor
terhadap masyarakat di sekitar Dar al-‘Ulûm untuk melawan
Inggris melalui tulisan maupun ceramah-ceramah. Selain itu, beliau juga
mendirikan sebuah organisasi aktif mahasiswa untuk menyuarakan semangat
kebangsaan dan membangun peradaban khususnya di daerah Iskandariyah. Organisasi
ini terus berlangsung sampai terjadi deklarasi bersyarat yang diberikan Inggris
kepada Mesir (1922) setelah sebelumnya Prancis melalui ekspidisi Napoleon
Bonaparte (1798) yang telah menguasai Mesir dan tidak sedikit telah memberikan
kontribusi bagi kemajuan Mesir.[4]
Prancis banyak
mewariskan kemajuan dalam bidang keilmuan kepada Mesir, diantaranya berdirinya
institute D’Egypte dengan adanya empat
jurusan: ilmu pasti, ilmu alam, ilmu ekonomi dan sastra seni.[5]
Pada masa ini pula, Mesir mengalami perdebatan antara golongan sekuler dan
golongan Islam. Para sarjana muslim yang berusaha mengadopsi ilmu-ilmu yang
berkembang dan kebudayaan barat. Sedangkan golongan muslim diwakili oleh para
ulama yang mempertahankan doktrin lama.[6]
Bangsa barat
yang terus mengalami kemajuan dengan pesat, turut mempengaruhi pola pikir umat
Islam termasuk Tantawi. Sadar akan ketertinggalan yang begitu jauh dari bangsa
barat bagi umat Islam dalam bidang sains dan teknologi membuat Tantawi berusaha
mengejar ketertinggalan tersebut melalui tafsir ilmi nya. Semangat serta kerja
keras dari Tantawi mampu menjadikan beliau sebagai seorang pemikir dan
cendikiawan Mesir yang memotivasi umat Islam agar lebih maju. Dengan menjadi
penafsir yang mempunyai kapasitas intelektual diberbagai bidang sains mampu
membuat Tantawi terkenal sebagai filosof muslim.[7]
- Karir
Intelektual Tantawi Jauhari
Tantawi
Jauhari, Seorang sarjana muslim yang berintelektualitas tinggi memulai riwayat
pendidikannya sejak kecil di al-Ghar pada sebuah kuttab yakni sebuah tempat pembelajaran agama
semacam pesantren tahfidz yang tidak jauh dari tempat tinggalnya. Di mulai dari
al-Ghar ini, kemudian Tantawi mendapatkan rekomendasi dari seorang pamannya
yaitu Syekh Muhammad Tsa’labi, seorang
guru besar bidang sejarah di Universitas al-lAzhar. Tantawi mendalami berbagai
bidang keilmuan di al-Azhar diantaranya ilmu bahasa (fasahah dan balagah ) retorika dan ilmu falak. Di universitas
ini lah, Tantawi mulai banyak mengenal tokoh-tokoh pembaharu salah satunya
adalah Muhammad Abduh. Bahkan Tantawi mengakui ketertarikan beliau terhadap
sistem pengajaran yang digunakan oleh Muhammad Abduh terutama dalam bidang
tafsir. Tak heran bimbingan dan motivasi yang senantiasa ditularkan Muhammad
Abduh kepada beliau membuka cakrawala pemikiran Tantawi Jauhari.
Berlanjut
perjalanan intelektual beliau ke Universitas Dar al-‘Ulûm pada tahun
1889 dan menyelesaikan studinya disana pada tahun 1311 H / 1893 M. Ketika di
Dar Ulum, beliau belajar berbagai disiplin ilmu yang tidak beliau dapatkan di
Universitas al-Azhar, seperti matematika (hisab), arsitektur (handasah), al-jabar, botani (al-Ilm an-Nabt), astronomi (ilm
al-hai’ah) dan kimia (al-kimiya’).
Setelah
menamatkan studinya, Tantawi menjadi tenaga pengajar di Madrasah Ibtidaiyyah
dan Tsanawiyyah seperti di an-Nasriyyah di Ghiza dan al-Khadiwiyyah di Darb
al-Jamamiz. Di sela-sela mengajarnya, beliau mendapatkan kesempatan belajar
bahasa Inggris hingga beberapa waktu dan kemudian beliau mengajar di Dar al-‘Ulûm. Kemudian
pada tahun 1912 H, Tantawi diangkat menjadi dosen dalam mata kuliah filsafat
Islam di al-Jami’ah al-Misriyah. Selain itu, Tantawi juga mendirikan lembaga
pendidikan bahasa Inggris dan aktif mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan
baik lewat surat kabar atau majalah atau lewat pertemuan ilmiah. Beliau sering
diundang dalam mengisi seminar atau simposium tingkat nasional dan internasional
tentang Islam dan sains. Tantawi selalu berusaha memberikan motivasi-motivasi
yang membangun bagi masyarakat Mesir untuk mendirikan sekolah-sekolah serta
memperdalam agama dan ilmu-ilmu modern sebagai bukti bahwa Islam menjunjung
tinggi ilmu pengetahuan dan menganjurkan untuk mempelajarinya.[8]
- Karya-Karya
Tantawi Jauhari
Sebagai seorang
cendekiawan, Tantawi Jauhari sangat produktif menulis untuk menyampaikan
gagasan dan pemikirannya. Dari semasa hidupnya yang ia lalui, terhimpun tidak
kurang dari 30 kitab. Dengan berbagai judul yang dituisnya, satu di antaranya
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yaitu al-Qur’an wa ‘Ulûm al-‘Ashriyah (al-Qur’an dan
Ilmu Pengetahuan Modern), yang memuat berbagai macam ilmu pengetahuan modern.
Di dalamnya terdapat 30 judul pembahasan, yang mana seluruh uraiannya disertai
dengan ayat-ayat al-Qur’an yang melandasi kandungan makna yang mengarah pada
ilmu penegtahuan.
Karya-karya
yang telah dihasilkan diantaranya adalah: al-Mîzân al-Jawâhir fî ‘Ajâ’ibi al-Kawn al-Bâhir (1900 M), Jawâhir al-‘Ulûm (1904 M), al-Arwâh, al-Nizhâm wa al-Islâm (1905 M), al-Hikmah wa al-Hukamâ’, al-Tâj al-Murasâ, jamâl al-‘Alâm, nahdah al-Ummah wa Hayâtuh, Ibnu al-Insân, al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm.
- Latar
Belakang Penulisan Kitab Tafsîr
al-Jawâhir
fî
Tafsîr
al-Qur’ân
al-Karîm
Suatu produk
tafsir tidak serta merta hadir tanpa adanya sebab historis yang menyebabkan
tafsir itu ditulis. Begitu juga dengan Tafsîr al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm, karya Tantawi
Jauhari. Sebagai seorang intelektual yang hidup pada abad 19 dimana Mesir
mengalami transformasi ke arah pembaharuan di segala bidang termasuk juga ilmu
pengetahuan, serta determinasi kemajuan barat di bidang ilmu pengetahuan
mendorong Tantawi untuk mempelajari ilmu pengetahuan modern agar umat Islam
tidak kalah dengan barat. Beliau berasumsi bahwa Islam sangat mendorong untuk
mempelajari ilmu pengetahuan dan Islam sejalan dengan teknologi dan ilmu
pengetahuan modern. Hal itulah yang mendorong beliau untuk selalu melakukan
kajian terhadap Islam dan kaitannya dengan ilmu pengetahuan modern, begitu juga
dengan kitab tafsirnya: Tafsîr al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm.
Dengan sangat
bangganya terhadap kegandrungannya terhadap ilmu pengetahuan modern, ia
menjelaskan tentang motivasinya yang mendorong untuk menulis tafsirnya, ia
mengatakan:
“Saya
diciptakan untuk menggandrungi keajaiban-keajaiban alam, mengagumi penciptaan
alam, serta rindu akan keindahan-keindahan alam yang ada di langit,
kesempurnaan dan keelokan sesuatu yang ada di bumi, tanda-tanda yang jelas,
matahari yang berputar dan bulan yang beredar, bintang yang bersinar, serta
awan yang muncul dan menghilang.”
“Baru setelah
saya memikirkan umat Islam dan pendidikan keagamaannya. Banyak para
ulama’-ulama’ terkemuka menolak makna-makna tersebut (keajaiban alam), sangat
sedikit sekali dari mereka yang memperhatikan dan berfikir mengenai penciptaan
alam semesta dan keajaiban-keajaibannya. Faktor-faktor itulah yang mendorong saya
untuk menulis kitab ini, dengan mengkompromikan ayat-ayat al-Qur’an dengan
keajaiban-keajaiban alam. Saya menjadikan ayat-ayat wahyu sesuai dengan
keajaiban penciptaan dan hukum penciptaan.”[9]
Tantawi mulai
menulis kitab tafsirnya pada saat ia mengajar di Madrasah Dâr al-‘Ulûm. Ia
menyampaikan tafsir beberapa ayat pada murid-muridnya. Sebagian penafsirannya
juga pernah dipublikasikan di majalah al-Malaji’ al-Abasiyah. Kemudian
ia tetap menekuni tafsirnya hingga ia menyelesaikan kitab tafsir al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm.[10]
Tantawi
berharap kitabnya dapat menghilakangkan kejumudan berpikir umat Islam sehingga
mereka dapat memahami ilmu pengetahuan atau sains. Hal inilah yang menjadi
orientasi penulisan kitab tafsirnya. Ia mengatakan:
“Semoga kitab
ini dapat menjadi melapangkan hati, menjadi petunjuk bagi umat, menghilangkan
kejumudan dari pandangan umat Islam sehingga mereka dapat memahami ilmu
pengetahuan dan sains”.
“Saya berharap
kepada Allah agar Dia menguatkan umat ini dengan agama Islam. Umat Islam dapat
mencotoh tafsir ini, agar mereka memperhatikan bagian timur dan barat bumi.
agar mereka tertarik dengan keajaiban-keajaiban langit serta
keindahan-keindahan bumi yang dulunya mereka bersatu padu. Dan semoga Allah
meninggikan peradaban mereka. Dan semoga tafsir ini dapat menjadi motivasi bagi
mereka unutk menekuni ilmu-ilmu yang tinggi dan rendah, sehinnga umat ini dapat
mengungguli peradaban barat dalam bidang pertanian, kedokteran, pertambangan,
matematika, arsitektur, astonomi, ilmu-ilmu yang lain serta industri-industri.”[11]
Selanjutnya,
faktor lain yang memotivasi Tantawi untuk menulis tafsirnya adalah bahwa
menurut Tantawi terdapat 750 ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang ilmu
pengetahuan sementara ayat-ayat yang menjelaskan tentang fiqh hanya terdapat
150 ayat.
Tantawi mengajak umat Islam untuk bangkit dari
keterpurukannya, Ia selalu membangkitkan semangat umat Islam untuk selalu
mempelajari ayat-ayat yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan, Tantawi
mengatakan:
“Wahai umat
Islam, banyak ayat-ayat tentang fara’idh, yang
kalian tertarik untuk menjadikannya bagian dari ilmu berhitung. Akan tetapi
kalian tidak peduli tehadap ayat-ayat tentang keajaiban-keajaiban dunia yang
jumlahnya 750 ayat. Zaman ini adalah zaman ilmu pengetahuan, zaman bersinanya
cahaya Islam, zaman kebangkitan. Wahai malangnya, mengapa kita tidak mengkaji
ayat-ayat sains, ilmu yang tidak dikaji oleh pendahulu kita sebagaimana yang
mereka kaji pada ayat-ayat tentang warisan. Tetapi saya berkata: “al-Hamdu lillah… al-Hamdu lillah ”. Sungguh kalian
akan membaca tafsir ini yang di dalamnya terkandung ringkasan-ringkasan ilmu
pengetahuan. Mempelajarinya lebih utama dari pada mempelajari ilmu fara’idh, karena imu fara’idh hukumnya fardhu kifayah. Sedangkan ilmu
ini merupakan bekal bagi kita untuk mengenal Allah (ma’rifat
Allah), hukum mempelajari ilmu ini adalah fardhu ‘ain bagi setiap
orang yang mampu.[12]
- Bentuk, Metode dan Corak Penafsiran Al-Jawâhir
Untuk
mengetahui bentuk, metode dan corak sebuah kirab tafsir, perlu diadakan perbandingan
kitab aslinya dengan kitab tafsir yang lain. Kali ini akan diperbandingkan
antara kitab Tafsir al-Jawâhir, Tafsir al-Maraghi dan Tafsir
al-Wadhîh.
- Bentuk
Dalam
berbagai macam literatur, istilah bentuk penafsiran tidak dijumpai dalam kitab-kitab
'ulûm al-Qur'an (ilmu tafsir) pada abad-abad yang silam bahkan sampai
periode modern sekalipun tidak ada ulama tafsir yang menggunakannya. Oleh
karenanya tidak aneh bila dalam kitab-kitab klasik semisal al-Burhân fî 'Ulûm
al-Qur'ân karangan al-Zarkasyi, al-Itqân fî 'Ulûm
al-Qur'ân karya al-Suyuthi, dan lain-lain tidak dijumpai term tersebut.
Namun
dalam buku Wawasan Ilmu Tafsir yang ditulis oleh Nashruddin Baidan, dapat
ditarik sebuah kesimpulan bahwa penafsiran yang dilakukan olah para mufasir sejak
pada masa Nabi sampai dewasa ini dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yakni
tafsir bi al-ma'tsur dan bi al-ra'y.[13]
Berangkat
dari sini, tafsir Jawahir ini jika dilihat dengan apa yang telah disimpulkan
oleh Nasruddin Baidan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa tafsir ini
menggunakan bentuk bi al-ra'yi. Karena dalam menafsirkan suatu ayat, Thanthawi
murni menggunakan pemikirannya sesuai dengan kemampuan dia selain ahli sebagai
seorang mufassir, juga ahli dalam bidang fisika dan biologi. Hal ini dapat terlihat
dalam contoh (terlampir), ketika dia menafsirkan penciptaan manusia dari 'alaq
(علق), beliau murni menggunakan kemampuan dia
sebagai seorang yang ahli biologi di samping sebagai seorang mufasir, tanpa
menyebutkan suatu riwayat yang berhubungan dengan 'alaq (علق).
Ini
berbeda dengan penafsiran dengan bentuk bi al-Ma'tsur. Tafsir yang menggunakan
bentuk bi al-ma'tsur sangat tergantung dengan riwayat. Tafsir ini akan tetap
eksis selama masih ada riwayat. Kebalikannya jika riwayat habis, tafsir bi al-ma'tsur
juga akan hilang.
- Metode
Munculnya
beragam kitab tafsir tidak dapat dipisahkan dari perbedaan metode penafsiran
al-Qur'an. Metode di sini diartikan dengan cara kerja yang dilakukan secara
sistematis. Jadi metode tafsir adalah cara (langkah dan prosedur) yang
digunakan oleh mufasir untuk memahami al-Qur'an.
Jika
diamati secara cermat metode yang digunakan oleh Tantawi dalam tafsir ini
adalah metode tahlili (analitis). Metode ini berusaha menjelaskan kandungan
ayat-ayat al-Qur'an dari seluruh aspeknya. Dengan metode ini, mufasir
menjelaskan al-Qur'an secara luas dan rinci. Segala hal yang bertautan dengan
al-Qur'an bisa dimasukkan dalam tafsir. Kata kunci penggunaan metode ini tidak
terletak pada banyak tidaknya materi penafsiran, akan tetapi pada penafsiran
yang runtut dan rinci. Ruang lingkup yang luas memungkinkan tafsir dengan
metode ini memuat berbagai ide.
Demikian
halnya dengan metode yang dipakai dalam tafsir ini. Thanthawi dengan
analisisnya sebagai seorang mufasir sekaligus seorang yang menguasai ilmu-ilmu
alam memberikan penafsiran secara runtut dan terperinci dengan ruang lingkup
yang amat luas. Dalam contoh (terlampir) sudah terlihat dengan jelas, bagaimana
dia ketika berusaha menjelaskan apa yang dinamakan 'alaq (علق). Dapat kita lihat betapa luasnya penjabaran yang dia berikan
mengenai 'alaq (علق). Bahkan sampai
mencakup tiga halaman sendiri, ini jelas berbeda dengan apa yang ada dalam
tafsir al-Maraghi maupun dalam tafsir al-Wadhih.
Meskipun
keduanya menggunakan metode yang sama dengan metode yang dipakai dalam tafsir
Jawahir. Namun uraiannya tentang 'alaq (علق)
tidak seluas dengan apa yang ada dalam tafsir. Dapat dibayangkan jika dalam
tafsir Jawahir untuk menguraikan tentang 'alaq saja membutuhkan tiga halaman,
sedangkan dalam tafsir al-Maraghi maupun al-Wadhih hanya berkisar dua sampai
tiga baris saja sungguh perbedaan yang amat mencolok. Karena seperti telah
dijelaskan di atas meskipun sama-sama menggunakan metode tahlili, tetapi kata
kuncinya bukan terletak pada banyaknya materi penafsiran, akan tetapi pada
penafsiran yang rinci dan runtut.
- Corak
Corak
penafsiran ialah suatu warna, arah, atau kecenderungan pemikiran atau ide
tertentu yang mendominasi sebuah karya tafsir. Jadi kata kuncinya adalah
terletak pada dominan atau tidaknya sebuah pemikiran ide tersebut. Tetapi bila
ada satu yang dominan maka disebut corak khusus.
Sedangkan
corak yang digunakan dalam tafsir ini adalah corak tafsir bil 'ilmi. Meskipun
para ulama berbeda pendapat tentang tafsir bil 'ilmi, ada yang menolaknya dengan
alasan bahwa teori-teori ilmiah jelas bersifat nisbi (relatif) dan tidak pernah
final. Tetap ada yang mendukungnya dengan alasan bahwa al-Qur'an justru menggalakkan
penafsiran ilmiah.
Tetapi
jika kita lihat dalam contoh, jika kita bandingkan dengan tasir lainnya, ketika
ketiga tafsir sama-sama berbicara tentang 'alaq (علق)
terlihat dengan jelas bahwa tafsir Jawahir ini memang menggunakan corak tafsir
bil 'ilmi.
Sebagai
contoh ketika ketiga tafsir berbicara tentang 'alaq (علق).
Kedua tafsir (al-Maraghi dan al-Wadhih) seperti tafsir-tafsir lainnya
mengartikan makna 'alaq (علق) sebagai darah yang
membeku atau sepotong darah yang beku (دم جامد/قطعة دم
جامدة) yang tidak mempunyai panca indra, tidak bergerak dan tidak
mempunyai rambut.
Berbeda
halnya ketika Tantawi menafsirkan tentang 'alaq (علق),
dia memulai dengan perbandingan antara telur yang ada pada binatang aves
(sejenis burung) dengan sel telur yang ada pada manusia. Menurutnya apa yang
terjadi pada binatang tersebut sama
dengan apa yang
ada pada manusia. Telur pada hewan jenis burung mempunyai apa yang dinamakan
putih dan kuning telur. Dan apa yang dinamakan jurtsumah (جرثومة), di mana jurtsumah ini yang menjadi dasar pembentukan manusia.
Dari
contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa ketika Tantawi menafsirkan kata
tersebut dia menggunakan ilmu biologi, berbeda jauh dengan yang dipakai oleh
Maraghi maupun Hijazi. Hal ini membuktikan bahwa memang corak yang dipakai oleh
Tantawi adalah corak bil 'ilmi, menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan
pendekatan ilmiah, atau menggali kandungannya berdasarkan teori-teori ilmu
pengetahuan yang ada.
Namun
yang perlu diingat adalah tidak ada ayat al-Qur'an yang bersifat ilmiah, karena
al-Qur;an adalah wahyu dan kebenarannya berdifat mutlak. Sedangkan ilmu
pengetahuan yang bersifat ilmiah kebenarannya bersifat relatif. Al-Qur'an
bukanlah kitab ilmu melainkan kitab hudan bagi manusia. Tetapi petunjuk
al-Qur'an ada yang berbentuk lafdzi, isyarat, qiasi dan yang tersurat berkenaan
dengan ilmu pengetahuan guna mendukung fungsinya sebagai hudan.
- Kesimpulan
Tantawi Jauhari
adalah ulama moderat yang dikenal sebagai seorang cendekiawan Muslim
asal Mesir yang kesohor karena kegigihannya dalam gerakan pembaruan untuk menumbuhkan
motivasi umat Islam terhadap penguasaan ilmu pengetahuan. Beliau dilahirkan pada tahun 1870 M di wilayah al-Ghar, wafat tahun
1940.
Dalam
muqaddimah kitab tafsirnya, dijelaskan bahwa sejak dulu ia sering menyaksikan
kejaiban alam, mengagumi dan merindukan keindahannya baik yang ada di langit
maupun yang ada di bumi, revolusi matahari, perjalanan bulan, bintang yang
bersinar, awan yang berarak, kilat yang menyambar dan listrik yang membakar
serta keajaiban-keajaiban lainnya. Selanjutnya ia menyatakan :"Ketika aku
berpikir tentang keadaan umat islam dan pendidikan-pendidikan agama, maka aku
menuliskan surat kepada para pemikir (al-'Uqala') dan sebagian ulama-ulama
besar (Ajillah al-Ulama') tantang makna-makna alam yang sering ditinggalkan dan
tentang jalan keluarnya yang masih sering dilakukan dan dilupakan. Sedangkan
sedikit sekali dari mereka yang mau berpikir tentang kejadian alam dan
keanehan-keanehan yang melingkupinya". Itulah yang mendorong Tantawi
menyusun pembahasan-pembahasan yang dapat mengkompromikan pemikiran Islam
dengan kemajuan Studi Ilmu Alam.
Tafsir
ilmi ialah penafsiran al-Qur’an yang menggunakan pendekatan
istilah-istilah (term-term) ilmiah dalam rangka mengungkapkan al-Qur’an. tafsir
ini berusaha keras untuk melahirkan berbagai cabang ilmu yang berbeda dan
melibatkan pemikiran-pemikiran filsafat.
Tafsir
ini menggunakan bentuk bi al-ra'yi. Karena dalam menafsirkan suatu ayat, Tantawi
murni menggunakan pemikirannya sesuai dengan kemampuan dia selain ahli sebagai
seorang mufassir, juga ahli dalam bidang fisika dan biologi. Hal ini dapat
terlihat dalam contoh (terlampir), ketika dia menafsirkan penciptaan manusia
dari 'alaq (علق), beliau murni
menggunakan kemampuan dia sebagai seorang yang ahli biologi di samping sebagai
seorang mufasir, tanpa menyebutkan suatu riwayat yang berhubungan dengan 'alaq
(علق).
Jika
diamati secara cermat metode yang digunakan oleh Tantawi dalam tafsir ini
adalah metode tahlili (analitis). corak yang digunakan dalam tafsir ini adalah
corak tafsir bil 'ilmi.
[2] Harun Nasution (ed), Ensiklopedi Islam di Indonesia (Jakarta: CV anda
Utama, 1993 ), Jilid III, 1187.
[4]
Philip K. Hitti, History of The Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin
& Dedi Slamet Riyadi (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010) 924.
[5]
Taufik Abdullah, (ed) Ensiklopedi Tematis Dunia Islam ( Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002) jilid II, 247-248.
[6] Harun Nasution (ed), Perkembangan Modern dalam Islam (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 1985) 248.
[7]
Tantawi Jauhari, al-Qur’an dan Ilmu
Pengetahuan Modern, ter. Muhammadiyah Ja’far (Surabaya: al- Ikhlas, 1984) 5.
[8]
Harun Nasution (ed), Ensiklopedi Islam di Indonesia (Jakarta: CV anda Utama,
1993) Jilid III, 1187.
[9] Tantawi Jauhari, al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur’ân
al-Karîm, (Mesir: Mushtafa al-Babi al-Halabi, 1350 H), Juz I, 2.