Blogroll

Pengaruh Perbedaan Qura’at Terhadap Istinbat Hukum


Definisi Qira’at
Dilihat secara etimologis, kata qira’at merupakan bentuk kata benda bentukan (masdar) mengikuti wazan (rumus) fi’alah, yang berakar kata qa-ra-a. Dari kata dasar ini lahir kata qur’ân dan qirâ’ah. Kedua kata ini mempunyai makna:
a)    Menghimpun dan menggabungkan (al-jam’u) yakni menghimpun dan menggabungkan antara yang satu dengan yang lainnya.
b)   Membaca (al-tilawat) yaitu mengucapkan kalimat-kalimat yang tertulis, seperti ungkapan aku membaca kitab (mengucapkan atau menyembunyikan huruf). Tilawah disebut qirâ’ah karena menggabungkan suara-suara huruf menjadi satu dalam fikiran untuk membentuk kalimat-kalimat yang diucapkan. Kata qirâ’at berbentuk tunggal, meskipun dalam studi ilmu al-Qur’an, ia ditempatkan dalam posisi jamak karena pembahasannya mencakup banyak jenis qirâ’at (bacaan).
Sedangkan qirâ’at menurut terminologi didefinisikan Abu Syamah sebagai berikut: ilmu yang membahas tentang tata cara melafalkan kosakata al-Qur’an dari segi perawinya.
Sedangkan Abu Fattah mendefinisikannya sebagai: “ilmu yang membahas tentang tata cara pengucapan kata-kata al-Qur’an berikut cara penyampaiannya, baik yang disepakati (ulama ahli al-Qur’an) ataupun yang terjadi perbedaan pendapat, dengan menisbatkan setiap model (wajah) bacaannya kepada seorang Imam Qirâ’at.
Dari paparan di atas diketahui bahwa objek kajian ilmu qira’at adalah al-Qur’an, baik dari segi perbedaan lafaz maupun cara artikulasinya. Inilah alasan mengapa al-Zarkasyi dalam bukunya al-Burhan mengatakan bahwa al-Qur’an dan qirâ’at adalah merupakan dua hal yang berbeda. Oleh sebab itu, al-Zarkasyi mendefinisikan qirâ’at dengan menghubungkannya dengan al-Qur’an. Ia mengatakan bahwa: “perlu diketahui bahwa al-Qur’an dan qirâ’at adalah realitas yang berbeda. Yang dimaksud dengan al-Qur’an adalah wahyu yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw yang berfungsi sebagai penjelas (ajaran agama Islam) dan sebagai mu’jizat (bagi Rasul). Sementara qirâ’at adalah perbedaan beberapa lafaz wahyu (al-Qur’an) dalam hal penulisan huruf maupun cara artikulasinya, baik secara takhfîf (membaca tanpa tasydid), tatsqîl (membaca dengan tasydid) dan lain sebagainya.
Dari paparan di atas penulis melihat adanya hubungan yang sangat erat antara al-Qur’an dan qirâ’at, meskipun ada juga perbedaan yang nyata antara keduanya. Yaitu munculnya ilmu qirâ’at karena adanya al-Qur’an dan al-Qur’an menjadi lebih lengkap dan tampak kemu’jizatannya karena adanya qirâ’at. Qirâ’at yang beragam tetapi mengacu kepada al-Qur’an yang sama, merupakan salah satu keistimewaan dari sekian banyak keistimewaan al-Qur’an. Karena hanya al-Qur’an yang mempunyai tata cara membaca ayat-ayatnya secara teratur dengan beberapa bacaan yang berbeda, sejak pertama kali diturunkan, dengan seizin Allah dan atas permintaan RasulNya demi memberi kemudahan bagi orangyang membacanya.
Dengan demikian bisa dikatakan bahwa setiap lafaz dari ayat-ayat al-Qur’an yang dibaca adalah qirâ’at, tapi tidak setiap qirâ’at adalah al-Qur’an, kecuali qirâ’at-qira’at yang memenuhi syarat-syarat yang telah disepakati oleh para ulama al-Qur’an. Dengan demikian, maka qirâ’at-qirâ’at yang tidak memenuhi persyaratan tersebut, bukanlah dinamakan al-Qur’an, seperti qirâ’at syâdzah yang oleh para ulama dilarang membacanya, baik di luar shalat, lebih-lebih di dalam shalat. Karena ia bukan dianggap sebagai bagian dari al-Qur’an.
Di sisi lain, layak disebutkan bahwa qirâ’at itu hanya menyangkut sebagian kecil dari ayat-ayat al-Qur’an yang berjumlah lebih dari 6000 ayat itu. Karena tidak semua dari jumlah ayat al-Qur’an tersebut, disentuh oleh perbedaan bacaan atau qirâ’at.
Adapun nilai guna ilmu qirâ’at sebagaimana dikemukakan oleh al-Zarqani adalah salah satu instrumen untuk mempertahankan orisinalitas dan otentisitas bacaan al-Qur’an, di samping membuktikan kemu’jizatannya. Pengetahuan tentang ilmu qirâ’at adalah kunci untuk memasuki disiplin ilmu tafsir.
Sedangkan ilmu tafsir sebagaimana dikatakan oleh as-Suyuthi –ketika menukil pendapat Abu Hayyan- adalah “ilmu yang membahas tentang cara-cara pengucapan lafaz-lafaz al-Qur’an, tentang petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya, baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun, serta hal-hal lain yang melengkapinya”. Sedangkan adz-Dzahabi mendefinisikan tafsir sebagai penjelasan tentang arti atau maksud firman-firman Allah swt sesuai dengan kemampuan manusia. Maka berdasarkan dua pendapat ulama tersebut, ilmu tafsir terkait juga dengan ilmu-ilmu lain seperti balaghah, nahwu, sharaf, ushul fiqih dan qirâ’at. Selain itu, tafsir juga membutuhkan ilmu asbâb an-nuzûl dan ilmu nasakh wa al-mansûkh.
Menurut pakar tafsir Ibnu ‘Âsyûr, ada perbedaan implikasi antara beragam qirâ’at tersebut terhadap penafsiran meskipun perbedaan itu berkisar di antara dua qirâ’at yang masing-masing memiliki derajat yang shahih. Yaitu pertama, qirâ’at yang tidak berimplikasi pada penafsiran, dan kedua, qirâ’at yang berimplikasi pada penafsiran yang pada akhirnya akan mempengaruhi proses istinbat hukum dan produk hukum yang dihasilkannya.  Jadi ada perbedaan qirâ’at yang berpengaruh terhadap istinbat hukum dan ada yang tidak berpengaruh terhadap hal tersebut.
Kondisi Bangsa Arab Ketika Al-Qur’an Diturunkan
Keadaan bangsa arab ketika al-Qur’an diturunkan kepada mereka adalah bangsa yang etrdiri dari kabilah-kabilah ynag terpencar di beberapa kawasan di semenanjung Arab. Mereka yang tinggal di perkampungan seperti suku Tamîm, Qais, Sa’d dan lain-lainnya mempunyai tradisi, loghat dan dialek tersendiri. Sementara yang di perkotaan juga mempunyai tradisi dan dialek atau gaya bahasa yang berbeda pula.
Dialek yang dimiliki suku pedalaman cukup beragam, seperti: imâlah, atau mengucapkan huruf ‘a menjadi huruf ‘ê’ seperti satê. Orang dari suku Badui, karena ingin meringkas perkataan kerap melipat huruf seperti mengucapkan dua huruf menjadi satu huruf yang dikenal dengan sebutan idgham. Suku Hudzail hanya mampu membaca عتى حين  yang semestinya dibaca حتى حين, orang dari suku Asad mengatakan تعلم و تسود و تعلمون و الم اعهد اليكم dengan mengkasrahkan awal huruf mudhâri’, orang dari suku Tamîm akan membaca hamzah dengan nada kuat, sementara orang Quraisy mengucapakannya dengan nada melemah.
Bisa dibayangkan bagaimana beratnya tugas nabi Muhammad saw mensosialisasikan al-Qur’an kepada masyarakat Arab pada saat itu. Padahal al-Qur’an merupakan kitab suci yang harus dibaca, tanpa dibaca, tentu pesan-pesan hidayah al-Qur’an tak tersampaikan dan tidak bisa dipahami umatnya.
Menyadari situasi yang majemuk ini, Rasulullah memohon kepada Allah sw agar tidak menurunkan al-Qur’an dengan satu huruf saja. Dalam satu hadits diriwayatkan:
“Dari Ubay ibn Ka’b ia berkata, “Rasulullah saw menjumpai Jibril sembari berkata, “wahai Jibril, aku telah diutus kepada seluruh umat yang ummiy (buta aksara). Di antara mereka ada yang sudah lanjut usia, hamba sahaya, lelaki maupun perempuan, dan orangyang sama sekali tidak mengenal aksara.” Maka Jibril berkata, “wahai Muhammad, sesungguhnya al-Qur’an diturunkan dalam tujuh huruf.
Pada kesempatan lain Nabi memohon kepada Jibril agar mengajarkan kepadanya beberapa macam bacaan semata-mata untuk memudahkan umatnya membaca al-Qur’an. Hadits berikut menjelaskan tentang hal itu sebagaimana diriwayatkan oleh Ubay ibn Ka’b:
“Dari Ubay ibn Ka’b bahwa nabi Muhammad saw telah berada di awak sungai Bani Ghifar. Lantas Beliau didatangi oleh Jibril sembari berkata, “sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk membacakan al-Qur’an kepada umatmu dengan satu huruf”. Rasulullah bersabda, “aku memohon ampunan dan maghfirah Allah, sesungguhnya umatku tidak akan mampu untuk menerima hal tersebut”, Jibril datang lagi kepada Rasulullah untuk yang kedua kalinya sambil berkata, “sesungguhnya Allah memerintahkan untuk membaca al-Qur’an kepada umatmu dengan dua huruf. Rasulullah kembali bersabda, “aku memohon ampunan dan maghfirah Allah, sesungguhnya umatku tidak akan mampu untuk menerima hal tersebut”. Untuk yang ketiga kali, Jibril datang menjumpai Rasulullah sambil berkata, “sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk membacakan al-Qur’an kepada umatmu dengan tiga huruf. Rasulullah kembali bersabda, “aku memohon ampunan dan maghfirah Allah, sesungguhnya umatku tidak akan mampu untuk menerima hal tersebut”. Akhirnya Jibril kembali menjumpai Rasulullah untuk yang keempat kalinya, “sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk membacakan al-Qur’an kepada umatmu dengan tujuh huruf”. Huruf manapun yang mereka baca, maka dianggap sebagai bacaan yang benar”.
Dengan diturunkannya al-Qur’an dalam sab’ah ahruf. Rasul membacakan al-Qur’an dengan bacaan yang sesuai dengan loghat dan dialek mereka. Sebab tidak mudah bagi seseorang untuk memahami bahasa dan loghat orang lain selain loghat ynag dikenalnya sejak lahir dalam waktu singkat, jika toleransi di atas tidak diberikan, maka dengan demikian memahami al-Qur’an menjadi beban berat bagi mereka.
Menyatukan atau menyeragamkan bacaan al-Qur’an di fase awal turunnya tentu bertentangan dengan kemudahan dan toleransi yang Allah janjikan bagi orang-orangyang mau mempelajari al-Qur’an, sebagaimana firman Allah dalam: (QS al-Qamar/54: 17):
 وَلَقَدۡ يَسَّرۡنَا ٱلۡقُرۡءَانَ لِلذِّكۡرِ فَهَلۡ مِن مُّدَّكِرٖ ١٧
17. Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran.
Di samping itu, adanya ahruf sab’ah dalam bacaan al-Qur’an adalah cara Allah menjamin orisinalitas dan otentisitas al-Qur’an, sebagaimana firmannya dalam: (QS al-Hijr/15:9:
 إِنَّا نَحۡنُ نَزَّلۡنَا ٱلذِّكۡرَ وَإِنَّا لَهُۥ لَحَٰفِظُونَ ٩
9. Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.
Pengertian Hukum dan Istinbat
Hukum, yang sering kali diidentikkan dengan syari’at, merupakan salah satu aspek pokok ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an. Karena itu, ayat-ayat Al-Qur’an yang berkenaan dengan hukum, biasanya disebut dengan ayat-ayat hukum.
Secara etimologi, hukum berarti: menetapkan sesuatu terhadap sesuatu atau meniadakannya ( إثبات امر لامر او نفيه عنه ). Jika menetapkan atau meniadakannya melalui akal, disebut hukum ‘aqli, jika melalui melalui jalan adat, disebut hukum ‘adi (kebiasaan), dan jika menetapkan atau meniadakannya itu dengan jalan syara’, maka ia disebut hukum syar’i.
Kata Istinbat ( استنباط ), adalah bahasa arab yang katanya (mufradatnya) adalah al-nabath ( النبط ), dari kata jamak (plural) adalah ( نبط – ينبط – نبطا ). Al-nabath ( النبط ), ( النبط: اول ما يظهر من ماء البئر اذا حفرتها ) artinya adalah air yang pertama kali keluar atau tampak pada saat seseorang menggali sumur.
Adapun makna istinbat ( استنباط ) menurut bahasa adalah ( استنباط: استخراج الماء من العين ) artinya adalah mengeluarkan air dari mata air/dalam tanah.
Karena itu, secara umum kata istinbat dipergunakan dalam arti istikhraj ( استخراج ) artinya mengeluarkan.
Hubungan Qirâ’at dengan Istinbat Hukum
Qirâ’at yang tidak berimplikasi pada penafsiran, di antaranya disebabkan oleh perbedaan pengucapan huruf, tanda baca (harakat), panjang dan pendeknya bacaan (mad), al-imâlah, al-takhfîf, al-tashîl, al-tahqîq, al-jahr, al-hams dan al-ghunnah. Beliau mencontohkan pada ayat (al-Baqarah/2:254):
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَنفِقُواْ مِمَّا رَزَقۡنَٰكُم مِّن قَبۡلِ أَن يَأۡتِيَ يَوۡمٞ لَّا بَيۡعٞ فِيهِ وَلَا خُلَّةٞ وَلَا شَفَٰعَةٞۗ وَٱلۡكَٰفِرُونَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ ٢٥٤
Tiga kosakata pada ayat di atas dapat dibaca dhammah seluruhnya atau fathah seluruhnya, atau dapat juga dibaca salah satunya rafa’ dan yang lainnya fathah tanpa menimbulkan perbedaan makna yang dapat mempengaruhi penafsiran al-Qur’an. Jenis bacaan yang kedua adalah qirât yang berimplikasi terhadap penafsiran yang pada akhirnya akan mempengaruhi istinbat hukum (QS al-Baqarah/2: 222):
وَيَسۡ‍َٔلُونَكَ عَنِ ٱلۡمَحِيضِۖ قُلۡ هُوَ أَذٗى فَٱعۡتَزِلُواْ ٱلنِّسَآءَ فِي ٱلۡمَحِيضِ وَلَا تَقۡرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطۡهُرۡنَۖ فَإِذَا تَطَهَّرۡنَ فَأۡتُوهُنَّ مِنۡ حَيۡثُ أَمَرَكُمُ ٱللَّهُۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلتَّوَّٰبِينَ وَيُحِبُّ ٱلۡمُتَطَهِّرِينَ ٢٢٢
222. Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
Abu Hayyan ketika menafsirkan ayat  وَلَا تَقۡرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطۡهُرۡنَۖ mengangkat empat qirâ’at:
1.       Qirâ’at Nafi’, Ibnu Katsir, Abu ‘Amr, Ibnu ‘Amir, dan Hafsh membaca dengan takhfif/tanpa tasyid, dengan sukun pada huruf tha’ dan dhammah pada huruf ha’ berasal dari kata thahara yang berarti terputus/terhentinya darah haid.
2.     Qirâ’at Hamzah, Al-Kisâ’î, dan Syu’bah membacanya dengan tasydid tha’ dan ha’ serta harakat fathah pada keduanya, sehingga dibaca yaththahharna berasal dari kata yatathahharna.
3.     Qirâ’at Ubay ibn Ka’ab dan Abdullah ibn Mas’ud membacanya yatathahharna.
4.     Anas ibn Malik membaca yatathahharna ولا تقربوا النساء في محيضهنّ واعتزلوهنّ حتى يتطهّرن
Qirâ’at pertama dan kedua statusnya mutawatir, sedangkan qirâ’at ketiga dan keempat statusnya syâdzah. Perbedaan qirâ’at ini juga memberi perbedaan penafsiran. Bacaan pertama yathhurna memberi makna bahwa suami boleh menggauli istri setelah terputusnya darah haid walaupun belum mandi junub. Sedangkan al-Thabari dan Al-Zamakhsyari menafsirkan bacaan kedua yatu kata yaththahharna dengan hattâ yaghtasilna artinya sampai mandi. Hukum yang timbul akibat dari penafsiran ini yaitu suami tidak boleh menggauli istri sampai berhentinya darah haid dan mandi (hadats atau mandi junub).
Sedangkan bacaan qirâ’at yang ketiga memperjelas makna qirâ’at yang kedua yang menerangkan asal kata yaththahharna. Sementara qirâ’at keempat Abu Hayyan mengatakan bahwa qirâ’at ini hanya dianggap sebagai tafsir dari bacaan yang shahih, bukan al-Qur’an karena banyak menyalahi tulisan (rasm ‘Utsmaniy). Menurut Ibnu ‘Athiyyah, qirâ’at kedua dan ketiga masing-masing mengandung makna terhentinya darah haid dan mandi dengan air. Hal ini diperkuat dengan redaksi ayat berikutnya yaitu فَإِذَا تَطَهَّرۡنَ فَأۡتُوهُنَّ مِنۡ حَيۡثُ أَمَرَكُمُ ٱللَّهُۚ.
berdasarkan pendapat ini, Imam Malik dan Imam Syafi’i suami baru boleh menggauli istrinya setelah istri mandi. Qirâ’at pertama mengandung makna hanya terputusnya darah haid dan suami sudah boleh menggauli istrinya, meskipun belum mandi. Berdasarkan penafsiran ini Imam Abu Hanifah menurut al-Shâbûnî membolehkan suami menggauli istrinya setelah terhentinya darah haid tanpa perlu mandi terlebih dahulu.
Melihat perbedaan pendapat di atas menimbulkan pertanyaan “apakah pendapat Imam Syafi’i yang didasarkan pada qirâ’at yang shahih dan mutawatir berarti menolak bacaan Abu Hanifah?”
Al-Râzî menjawab pertanyaan di atas dengan mengatakan bahwa Syafi’i menerima seluruh qirâ’at mutawatirah. Jika terdapat perbedaan makna di antara qirâ’at itu, maka wajib dikompromikan, jika memungkinkan. Kedua qirâ’at tersebut mengandung makna berhenti darah haid sebagaimana ditunjukkan pada qirâ’at yathhurna dan mengandung makna mandi pada qirâ’at yaththahharna. Menurut hujjah Syâfi’i kedua qirâ’at tersebut dapat dikompromikan, sehingga dapat dipahami bahwa suami baru boleh menggauli istri setelah istri berhenti darah haidnya dan mandi janabah, hujjah kedua adalah mengaitkan bersetubuh dengan bersuci, yang termaktub dalam redaksi ayat selanjutnya.
Yang menunjukkan bahwa kebolehan bersetubuh apabila terpenuhi satu syarat, yaitu bersuci. Dengan kata lain bersuci menjadi syarat boleh melakukan hubungan suami istri.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَقۡرَبُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَنتُمۡ سُكَٰرَىٰ حَتَّىٰ تَعۡلَمُواْ مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغۡتَسِلُواْۚ وَإِن كُنتُم مَّرۡضَىٰٓ أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوۡ جَآءَ أَحَدٞ مِّنكُم مِّنَ ٱلۡغَآئِطِ أَوۡ لَٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآءٗ فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدٗا طَيِّبٗا فَٱمۡسَحُواْ بِوُجُوهِكُمۡ وَأَيۡدِيكُمۡۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا ٤٣
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (QS. An-Nisa 43)
Berkaitan dengan ayat ini, Imam hamzah dan al-Kisa’I memendekkan huruf lam pada kata “lamastum”, sementara imam-imam lainnya memanjangkannya. Bertolak dari perbedaan qirâ’at ini, terdapat tiga versi pendapat para ulama mengenai maksud kata itu, yaitu bersetubuh, bersentuh, dan sambil bersetubuh. Berdasarkan pendapat qirâ’at itu pula, para ulama  fiqih ada yang berpendapat bahwa persentuhan laki-laki dan perempuan itu membatalkan wudhu. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa bersentuhan itu tidak membatalkan wudhu, kecuali kalau berhubungan badan.
Kemudian dalam QS Al-Maidah/5:6:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ وَٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ وَأَرۡجُلَكُمۡ إِلَى ٱلۡكَعۡبَيۡنِۚ وَإِن كُنتُمۡ جُنُبٗا فَٱطَّهَّرُواْۚ وَإِن كُنتُم مَّرۡضَىٰٓ أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوۡ جَآءَ أَحَدٞ مِّنكُم مِّنَ ٱلۡغَآئِطِ أَوۡ لَٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآءٗ فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدٗا طَيِّبٗا فَٱمۡسَحُواْ بِوُجُوهِكُمۡ وَأَيۡدِيكُم مِّنۡهُۚ مَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيَجۡعَلَ عَلَيۡكُم مِّنۡ حَرَجٖ وَلَٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمۡ وَلِيُتِمَّ نِعۡمَتَهُۥ عَلَيۡكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ ٦
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.
Ayat ini menjelaskan, bahwa seseorang yang mau mendirikan shalat, diwajibkan berwudhu. Adapun caranya seperti yang disebutkan dalam firman Allah di atas. Sementara itu, para ulama berbeda pendapat tentang apakah dalam berwudhu, kedua kaki (وارجلكم) wajib dicuci ataukah hanya wajib diusap dengan air.
Hal ini dikarenakan adanya dua versi qira’at yang menyangkut hal ini. Ibn Katsir, Hamzah dan Abu Amr membaca وَاَرْجُلِكُمْ. Nafi, Ibn Amir dan al-Kisâ’î membaca وَاَرْجُلَكُمْ Sementara Ashim riwayat Syu’bah membaca وَاَرْجُلِكُمْ, sedangkan Ashim riwayat Hafsh membaca وَاَرْجُلَكُمْ .
Qirâ’at وَاَرْجُلَكُمْ menurut dzahirnya menunjukkan bahwa kedua kaki wajib dicuci, yang dalam hal ini ma’thuf kepada قَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ. Sementara qira’at وَاَرْجُلِكُمْ menurut dzahirnya menunjukkan bahwa kedua kaki hanya wajib diusap dengan air, yang dalam hal ini ma’thuf kepadaبرؤؤسكم  وَامْسَحُوْا. Jumhur ulama cenderung memilih qira’at وَاَرْجُلَكُم, mereka memberikan argumentasi sebagai berikut:
a.     Menunjukkan betapa terpelihara dan terjaganya kitab Allah dari perubahan dan penyimpangan. Dalam ayat tersebut Allah membatasi kaki sampai mata kaki, sebagaimana halnya membatasi tangan sampai dengan siku. Hal ini menunjukkan bahwa dalam berwudhu, kedua kaki wajib dicuci sebagaimana diwajibkannya mencuci kedua tangan.
Selain itu jumhur berupaya menta’wilkan qira’at وَاَرْجُلِكُمْ sebagai berikut:
a.     Qira’at وَاَرْجُلِكُمْ kedudukannya ma’thuf kepada kata وَاَيْدِيَكُمْ , akan tetapi kata وَاَرْجُلِكُمْ dibaca majrur disebabkan karena berdekatan dengan رُءُوْسِكُمْ yang juga majrur.
b.    Lafaz اَرْجُلِكُمْ dalam ayat tersebut dibaca majrur, semata-mata karena ma’thuf kepada lafadz وَاَرْجُلِكُمْ yang majrur. Akan tetapi ma’thufnya hanya dari segi lafaz bukan dari segi makna.
Sementara itu, sebagian ulama dari kalanga Syi’ah Imamiyyah cenderung memilih qira’at وَاَرْجُلِكُمْ. Sedangkan ulama azh-Zhahir berpendapat bahwa dalam berwudhu diwajibkan menggabungkan antara mengusap dan mencuci dua kaki, dengan alasan mengamalkan ketentuan hukum yang tedapat dalam dua versi qira’at tersebut. Menurut Ibn Jabir ath-Thabari berpendapat bahwa seseorang yang berwudhu, boleh memilih antara mencuci kaki dan mengusapnya (dengan air).
Dari uraian di atas tampak jelas, bahwa perbedaan qira’at dapat menimbulkan perbedaan istinbat hukum. Qirâ’at وارجلكم dipahami oleh jumhur ulama dengan menghasilkan ketentuan hukum, bahwa dalam berwudhu diwajibkan mencuci kedua kaki, sementara qira’at  وَاَرْجُلِكُمْdipahami oleh sebagian ulama dengan menghasilkan ketentuan hukum bahwa dalam berwudhu tidak diwajibkan mencuci kedua kaki, akan tetapi diwajibkan mengusapnya. Sementara ulama lainnya membolehkan untuk memilih salah satu dari kedua ketentuan hukum tersebut. Dan ada pula yang mewajibkan untuk menggabungkan kedua ketentuan hukum tersebut.
Adapun qiraat syazzat yang tidak berpengaruh terhadap istinbat hukum, salah satu contoh ayat yang bersangkutan seabagai berikut:
Firman Allah:
وَلۡيَسۡتَعۡفِفِ ٱلَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّىٰ يُغۡنِيَهُمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦۗ وَٱلَّذِينَ يَبۡتَغُونَ ٱلۡكِتَٰبَ مِمَّا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡ فَكَاتِبُوهُمۡ إِنۡ عَلِمۡتُمۡ فِيهِمۡ خَيۡرٗاۖ وَءَاتُوهُم مِّن مَّالِ ٱللَّهِ ٱلَّذِيٓ ءَاتَىٰكُمۡۚ وَلَا تُكۡرِهُواْ فَتَيَٰتِكُمۡ عَلَى ٱلۡبِغَآءِ إِنۡ أَرَدۡنَ تَحَصُّنٗا لِّتَبۡتَغُواْ عَرَضَ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۚ وَمَن يُكۡرِههُّنَّ فَإِنَّ ٱللَّهَ مِنۢ بَعۡدِ إِكۡرَٰهِهِنَّ غَفُورٞ رَّحِيمٞ ٣٣
Artinya: Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu (QS. An-Nur 33)
Ayat tersebut diatas menjelaskan, bahwa para pemilik budak-budak wanita diharamkan memaksa budak-budak tersebut untuk melakukan prostitusi (pelacuran), karena hendak mencari keuntungan duniawi. Dan apabila budak-budak wanita itu dipaksa untuk melakukan hak demikian, maka Allah akan mengampuni mereka.
Sehubungan ayat al-Quran diatas, dalam qirâ’at syâzzat yaitu qirâ’at Ibnu Abbâs serta qirâ’at Ibnu Mas’ûd dan Jâbir ibn Abdullâh, disebutkan:
فإن الله من بعد إكراههن لهن غفور رحيم
Qiraat tersebut tidak berpengaruh terhadap istinbat hukum dari ayat al-Quran diatas, karena tanpa tambahan lafaz (لهن) pun, ayat tersebut jelas menunjukkan bahwa ampunan Allah itu ditujukan (diberikan) kepada budak-budak wanita yang dipaksa oleh tuannya, untuk melakukan pelacuran, dan bukan ditujukan (diberikan) kepada tuannya yang memaksa mereka untuk melakukan pelacuran tersebut.
Sehubungan dengan ini, al-Zamakhsyari menyatakan sebagai berikut:
لا حاجة إلى تعليق المغفرة بهن لأن المكرهة على الزنا بخلاف المكره عليه فى انها غير اثمة
“Ampunan Allah (dalam ayat tersebut) tidak memerlukan tambahan lafaz ( لهن ), karena budak-budak wanita yang dipaksa untuk melakukan zina (pelacuran), jelas tidak berdosa, lain halnya dengan orang yang memaksa (tuan mereka).”

Dengan contoh di atas terbukti bahwa ada pengaruh atau implikasi qirâ’at terhadap istinbat hukum.
close
==[ Klik disini 1X ] [ Close ]==