Blogroll

TAFSIR PADA MASA SAHABAT

PENDAHULUAN
Dapat dikatakan bahwa perkembangan tafsir sudah ada sejak al-Qur’an itu sendiri diturunkan. pada saat Rasulullah saw. masih hidup beliaulah yang menjadi tokoh sentral dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, sebagaimana dalam firman Allah surah an-Nahl ayat 44:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ (النحل: 44)
“Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (QS. An-Nahl/16: 44)
Kemudian setelah wafatnya beliau saw. maka para sahabat yang mendalami kitabullah dan yang telah menerima tuntunan serta petunjuk Nabi merasa terpanggil untuk ambil bagian dalam menerangkan dan menjelaskan apa yang mereka ketahui dan mereka pahami mengenai al-Qur’an.
Maka dari itu, pada kesempatan kali ini pemakalah akan memaparkan makalah tentang ‘Tafsir Pada Masa Sahabat’, berupa pemahaman para sahabat terhadap ayat al-Qur’an, sumber-sumber penafsiran, karakteristik, maupun biografi para tokoh mufassir yang terkenal pada masa itu.



PEMBAHASAN
Pada masa sahabat penafsiran al-Qur’an dilakukan secara langsung kepada inti dan kandungan al-Qur’an, dan mengarah kepada penjelasan makna yang dikehendaki dan hukum-hukum yang terkandung dalam ayat serta menggambarkan makna dari ayat-ayat yang berisi nasihat, petunjuk, kisah-kisah agamis, penuturan tentang keadaan umat terdahulu, menjelaskan tentang maksud peribahasa dan ayat-ayat yang dijadikan oleh Allah sebagai contoh bagi manusia untuk dipikirkan dan direnungkan, nasihat yang baik, dan maksud-maksud al-Qur’an yang lain.
Para sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an banyak merujuk kepada pengetahuan mereka tentang sebab-sebab turunya ayat dan peristiwa-peristiwa yang menjadi penyebab turunya ayat tersebut. Oleh karena itu mereka tidak mengkaji dari segi Nahwu, I’rab, dan macam-macam Balaghah, seperti ilmu Ma’any, Baya dan Badi’,Majaz dan Kinayah. Mereka juga tidak mengkaji dari segi lafaz, susunan kalimat, hubungan antara ayat satu dan yang lainnya dan segi-segi lain yang sangat diperhatikan oleh mufasir-mufasir yang datang kemudian (mutaakkhirin), karena mereka mempunyai dzauq (rasa kebahasaan) dan mereka mengetahui hal itu secara fitrah mereka, sangat berbeda dengan kita yang baru mengetahui hal itu berdasarkan kaidah-kaidah dan dari kitab-kitab serta hasil kajian-kajian terdahulu.
Sekalipun demikian, para sahabat tetap merasa perlu mendiskusikan dan mengkaji sebagian ayat yang maknanya sangat dalam dan jauh untuk bisa dicapai.[1]

A.          Pemahaman Para Sahabat terhadap Ayat-Ayat Al-Qur’an
Mengetahui tafsir adalah hal yang sangat penting, maka para sahabat sangat bersungguh-sungguh dalam mempelajari al-Qur’an, yakni menghayati dan memahami maknanya.
Isya Ibn Mu’awiyah berkata: “orang-orang yang membaca al-Qur’an sedang mereka tidak mengetahui tafsirnya adalah seumpama orang yang datang kepadanya sebuah surat dari raja pada malam hari, sedang mereka tidak mempunyai pelita. Mereka dipengaruhi ketakutan  dan mereka tidak mengetahui isi kitab itu. Orang-orang yang mengetahui tafsirnya adalah seumpama seorang yang dibawa kepadanya sebuah lampu, lalu mereka dapat membaca apa yang tertulis dalam surat itu.”
Mempelajari tafsir tidak sukar bagi para sahabat karena mereka menerima al-Qur’an langsung dari Shahib ar-Risalah dan mempelajari tafsir al-Qur’an pun dari beliau sendiri.[2]
Menurut pendapat ulama, kondisi pemahaman para sahabat terhadap ayat al-Qur’an dapat dibedakan dalam dua kelompok:
1.             Ibnu Chaldun dalam muqaddimahnya menyebutkan bahwa semua sahabat memiliki pemahaman yang sama terhadap al-Qur’an. Karena al-Qur’an itu turun dengan bahasa mereka sendiri.[3]
2.             Ibnu Quthaibah dalam risalahnya al-Masaa’ilu wal Wajibat yang didukung oleh Amin al-Khuly menyebutkan bahwa orang Arab termasuk juga para sahabat, berbeda pengertian dan pemahamannya terhadap keseluruhan dari isi al-Qur’an, karena meskipun al-Qur’an itu menggunakan bahasa mereka akan tetapi di dalamnya terdapat lafaz-lafaz gharib dan musykil yang pengetahuannya hanya dapat diperoleh dari penjelasan Nabi saw. bahkan antara pribadi sahabat yang satu dengan yang lain tentu tidak setingkat kualitasnya dalam memahami al-Qur’an.[4]

Dari kedua pendapat di atas, nampaknya pendapat kedua yang lebih realistis, karena di samping para sahabat memiliki  tingkatan kecerdasan yang tidak sama, juga ada faktor lain yang menyebabkan tingkat pemahaman mereka berbeda yaitu: (1) Penguasaan bahasa, (2) Intensitas dalam mendampingi Nabi saw., dan (3) Pengetahhuan tentang orang-orang Yahudi dan Nasrani di Jazirah Arab pada waktu diturunkan al-Qur’an.[5]

B.           Sumber-sumber penafsiran para Sahabat
Secara garis besar para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an menggunakan 4 sumber, yaitu Al-Qur’an, Hadis Nabi, Ijtihad, dan keterangan Ahli Kitab.[6]
1.            Al-Qur’an
Sumber utama penafsiran mereka adalah al-Qur’an itu sendiri. al-Qur’an itu ibarat jalinan kalung yang satu dengan yang lainnya saling terkait dan saling menjelaskan. Oleh karena itu, orang yang akan menafsirkan al-Qu’an, pertama kali harus memperhatikan penafsiran dalam al-Qur’an. Karena bila ditelaah semua ayat al-Qur’an, maka diantara ayat-ayat itu ada yang mujmal, mubayyan, muthlaq, muqayyad, umum dan ada yang khusus.[7]  
2.        Hadis Nabi
Sumber kedua ialah hadis Nabi karena banyak hadis yang merupakan penjelasan terhadap ayat-ayat yang musykil yang ditanyakan sahabat kepada Nabi saw. Sebagai contoh lafadz المغضوب عليهم  (mereka yang dimurkai) ialah Yahudi sedangkan الضالين (mereka yang sesat) ialah Nasrani (Hadits riwayat Ahmad, Turmudzy dari ‘Adi bin Hibban).[8] Contoh lain, misalnya dari Uqbah bin ‘Amir, ia berkata : “Saya pernah mendengar Rasulullah mengatakan di atas mimbar ketika membaca ayat:
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ (الأنفال: 60)
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi” (QS. Al-Anfal/8: 60). Ketahuilah ‘kekuatan’ di sini adalah ‘memanah’.”[9]
Namun hadis yang digunakan sebagai sumber penafsiran juga harus diteliti keotentikannya, apakah ia benar-benar hadis dari Nabi atau bukan.[10]
3.            Ijtihad
Sahabat apabila tidak mendapatkan penafsiran dari al-Qur’an dan juga Hadist, maka mereka berusaha menafsirkan dengan ijtihad dan istimbath.[11] Di antara sahabat yang menfsirkan al-Qur’an dengan ijtihad adalah Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas sedang yang tidak membenarkan penafsiran dengan ijtihad ialah Abu Bakar ra. dan Umar bin Khattab ra.[12]
4.            Keterangan Ahli Kitab
Sebagaiman telah kita ketahui bahwa terdapat persamaan antara al-Qur’an dengan kitab Taurat dan Injil dalam beberapa masalah tertentu, seperti dalam hal cerita-cerita para Nabi dan umat-umat terdahulu. Tetapi biasaya cara al-Qur’an mengungkapkan cerita-cerita tersebut tidaklah mendetail, bahkan biasanya hanya secara global.[13] Hanya saja sebagian para sahabat ada yang senang melakukan pencarian mengenai cerita-cerita yang tidak ada keterangannya di dalam al-Qur’an kepada ahli kitab yang telah masuk Islam seperti Abdus Salam dan Ka’b al-Ahbar. Pengambilan cerita itupun terpaksa karena Nabi tidak menjelaskannya secara mendetail karena para sahabat ingin menegetahui sebab penciptaan langit, bumi dan sebagainya. Dan itupun hanya sebagian kecil saja, dan tidak bertentangan dengan aqidah Islam.[14]
Pada mulanya para sahabat yang berijtihad dengan keterangan-keterangan Yahudi dan Nasrani hanya ingin menunjuk kepada kebenaran Nabi, seperti Abdullah bin Umar meriwayatkan isi kitab Taurat semata-mata untuk menguatkan keterangan dan menantang orang-orang ahli kitab. Akan tetapi setelah beberapa waktu berlalu, berpindahlah fungsi israiliyyat dari fungsi ijtihad kepada fungsi takwil, takhrij, dan tafsir yang memalingkan maksud al-Qur’an kepada maksud yang sesuai riwayat-riwayat itu, dan terbukalah pintu bagi orang seperti Yuhanna ad-Dimasyqi untuk merusakkan makna-makna al-Qur’an.[15]

C.       Tokoh Mufassirun di masa Sahabat
1.      Ditinjau dari ke Masyhurannya:
a)    Tokoh-tokoh termasyhur ialah:


1)   Khalifah-4
2)   Ibnu Mas’ud
3)   Ibnu Abbas
4)   Ubay bin Ka’ab
5)   Zaid bin Tsabit
6)   Abu Musa al-Asy’ari
7)   Abdullah bin Zubair.


b)   Tokoh-tokoh tidak termasyhur ialah:


1)   Anas bin Malik
2)   Abu Hurairah
3)   Abdullah bin Umar
4)   Jabir bin Abdullah
5)   Abdullah bin Amr bin Ash
6)   Aisyah.


2.      Ditinjau dari segi banyak sedikitnya penafsiran:
a)    Tokoh yang banyak penafsirannya:
1)   Ibnu Abbas
2)   Ibnu Mas’ud
3)   Ali bin Abu Thalib
4)   Ubay bin Ka’b.
b)   Tokoh yang sedikit penafsirannya :


1)        Zaid bin Tsabit
2)        Abu Musa Al Asy’ariy
3)        Abdullah  bin Zubair
4)        Abu Bakar as-Shiddiq
5)        Umar bin Khattab
6)        Utsman bin Affan
7)        Anas bin Malik
8)        Abu Hurairah
9)        Abdullah bin Umar
10)    Jabir bin Abdullah
11)    Abdullah bin Amr bin Ash
12)    Aisyah.



Berikut biografi singkat tentang  4 mufassir yang paling banyak penafsirannya:
1.             Abdullah bin Abbas
Abdullah bin Abbas adalah orang yang ternama dikalangan umat Islam. Ia adalah anak paman Rasulullah saw. yang pernah dido’akan oleh Nabi saw. dengan kata-kata: “Ya Allah berilah pemahaman tentang urusan agama dan berilah ilmu kepadanya tentang ta’wil”. Ibnu Mas’ud berkata: “Penerjemah al-Qur’an yang paling baik adalah Abdullah bin Abbas”.[16] Ia dikenal dengan julukan Bahrul Ilm (lautan ilmu), Habrul Ummah   (Ulama Umat) dan Turjuman Al-Qur’an (Juru tafsir Al-Qur’an).[17] 
Kalimat yang dikutip dari muridnya, Mujahid: “Ketika Ibnu Abbas menafsirkan ayat al-Qur’an, maka aku melihat seberkas cahaya di wajahnya.[18]
Ibnu Abbas juga dikenal sebagai sahabat yang pertama kali menafsirkan al-Qur’an secara bahasa dengan merujuk kepada perkataan bangsa Arab dan syair-syair mereka, untuk mengetahui arti yang tidak jelas dari lafaz dan susunan kalimat yang terdapat dalamal-Qur’an.[19]
Ketika Umar ra. bertanya kepada para sahabat tentang maksud firman Allah surah an-Nashr, sebagian sahabat menjawab: “Allah memerintahkan kita memuji dan memohon ampun kepada-Nya jika Allah menolong dan memberi kemenangan kepada kita.” Sebagian sahabat yang lain terdiam. Umar pun bertanya kepada Ibnu Abbas: “Apakah demikian pula menurut pendapatmu, hai Ibnu Abbas?” Ibnu Abbas menjawab: “Bukan begitu maksud ayat itu.” Maka ia pun menjelaskan bahwa firman Allah  إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ  adalah tanda berakhirnya ajal Rasulullah saw. kemudian Umar berkata: “Aku tidak mengetahui maksud surah ini kecuali yang kamu katakan, wahai Ibnu Abbas.”[20]
Ibnu Abbas masih hidup selama kurang lebih 47 tahun sesudah wafatnya Umar bin Khattab.[21]
2.             Abdullah bin Mas’ud
Beliau adalah Abdullah bin Mas’ud bin Ghafal al-Hudzail, ibunya bernama Ummu Abdin. Beliau termasuk golongan as-Sabiqun al-Awwalun ( orang-orang yang pertama masuk Islam).[22] Ia adalah seorang pembantu Rasulullah saw, mereka sering pergi bersama-sama. Dari segi hubungan kenabian ia adalah seorang yang sangat baik dan terdidik.
As-Suyuthy mengatakan: “Yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud tentang tafsir adalah lebih baik daripada yang diriwayatkan oleh Ali......”[23]
3.             Ali bin Abi Thalib
Ali bin Abi Thalib adalah putra paman Rasulullah saw. dan suami dari putri beliau, yaitu Fatimah ra.. Ia adalah orang pertama yang beriman kepada Allah swt. dari kalangan kerabat Nabi.
Diriwayatkan dari Ali ra. bahwa beliau berkata: “Bertanyalah kepadaku, bertanyalah kepadaku, bertanyalah kepadaku tentang kitabullah. Demi Allah! Tidak ada satu ayat pun kecuali aku mengetahui apakah dia (ayat tersebut) turun pada malam atau siang.”
Ibnu Abbas ra. berkata: “Apabila datang kepada kami ketetapan dari Ali, kami tidak menyelisihnya.”[24]
Ali adalah yang paling banyak disebut-sebut para ahli riwayat dibanding ketiga Khulafa’ur Rasyidun karena mengenai soal tafsir  mereka sangat jarang, mungkin karena mereka wafat lebih dulu.[25]
4.             Ubay bin Ka’ab al-Anshary
Ubay bin Ka’ab merupakan salah seorang ahli qira’at yang terkenal, salah seorang penulis wahyu dan salah seorang dari sahabat yang turut bertempur dalam perang Badar.
Nabi saw. penah mengatakan bahwa Ubay bin Ka’ab adalah salah seorang sahabat yang paling pandai dalam membaca al-Qur’an. Diriwayatkan oleh Abu Ja’far ar-Razy, bahwa Ubay bin Ka’ab mempunyai suatu naskah yang besar dalam bidang tafsir. Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, al-Hakam, dan Ahmad banyak meriwayatkan tafsir-tafsir beliau ini.[26]

D.           Nilai Tafsir Para Sahabat
Menurut al-Hakim dalam kitabnya “al-Mustadrak” yang dikutip oleh Muhammad Husain adz-Dzahabi dalam kitabnya “at-Tafsir wa al-Mufassirun” bahwa tafsir para sahabat adalah marfu’, karena seolah-olah mereka telah meriwayatkannya dari Nabi saw. Akan tetapi Ibnu Shalah dan Nawawi membatasi pada tafsir yang berkaitan dengan asbabun nuzul dan ayat yang bukan ijtihady dalam menafsirkannya.
Dari pernyataan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa:
1.        Tafsir para sahabat bernilai sama dengan marfu’ jika berhubungan dengan asbabun nuzul atau tentang suatu masalah yang tidak bisa dimasuki akal. Adapun jika bisa dimasuki akal maka nilai mauquf selama tidak ada bukti penyandaran kepada Nabi saw.
2.        Tafsir para sahabat yang mendekati marfu’, maka tidak boleh ditolak.
3.        Tafsir para sahabat dengan hadis mauquf masih diperselisihkan soal pemakaiannya sebagai sumber penafsiran. Ada yang berpendapat tidak wajib dipakai karena hal itu tidak marfu’ tetapi hanya ijtihad saja, yang mungkin benar atau salah. Dan pendapat lain mengatakan wajib dipakai, karena ada dugaan kuat bahwa para sahabat memang mendengar langsung Rasulullah, andaikata itu hanya ijtihad saja maka diperkirakan hasil ijtihad mereka itu benar sebab merekalah yang lebih banyak tau tentang al-Qur’an dibanding yang lain, sehingga mendapatkan pemahaman yang benar tentang suatu ayat al-Qur’an, seperti: Khalifah-4, Ibnu Mas’ud, dan Ibnu Abbas.[27]

E.       Karakteristik Tafsir Pada Masa Sahabat
1.      Al-Qur’an tidak ditafsirkan semua, hanya sebagian pengertian saja yang dianggap sukar, sehingga penafsiran itu berkembang sedikit demi sedikit berdasarkan pada problema yang ada. Sampai suatu waktu menjadi sempurna
2.      Sedikitnya perbedaan dalam memahami lafazh al-Qur’an.
3.      Mencukupkan penafsirannya secara tafsir global, tafsir ijmaliy.
4.      Membatasi penafsiran dengan penjelasan berdasarkan makna bahasa yang primer.
5.      Tidak ada penafsiran secara ‘ilmi, fiqhi, dan madzhabi. Sebab hal tersebut baru muncul setelah masa sahabat.
6.      Tak adanya pembukuan tafsir, sebab pembukuannya baru ada setelah abad ke—II H. Meskipun sebenarnya sudah ada shahifah yang berisi tafsir, tapi para ulama menganggapnya hanya sebagai catatan belaka.
7.      Penafsiran saat itu merupakan bentuk dari perkembangan hadis.[28]


PENUTUP
Dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an sahabat berbeda pengertian dan pemahaman, karena meskipun al-Qur’an itu menggunakan bahasa mereka akan tetapi di dalamnya terdapat lafaz-lafaz gharib dan musykil yang pengetahuannya hanya dapat diperoleh dari penjelasan Nabi saw. bahkan antara pribadi sahabat yang satu dengan yang lain tentu tidak setingkat kualitasnya dalam memahami al-Qur’an. Sumber penafsiran mereka ada 4, yaitu: 1) Al-Qur’an, 2) Hadis Nabi, 3) Ijtihad, dan 4) Keterangan Ahli Kitab.
Hasil tafsiran para sahabat bernilai sama dengan marfu’ jika berhubungan dengan asbabun nuzul atau tentang suatu masalah yang tidak bisa dimasuki akal. Adapun jika bisa dimasuki akal maka nilai mauquf selama tidak ada bukti penyandaran kepada Nabi saw. Cakupan penafsiran pada masa ini masih secara global, tafsir ijmaliy, dan belum ada penafsiran secara ‘ilmi, fiqhi, dan madzhabi.
Urutan mufassir yang paling banyak penafsirannya ialah, 1) Ibnu Abbas, 2) Ibnu Mas’ud, 3) Ali bin Abi Thalib, dan 4) Ubay bin Ka’ab.
Ibnu Abbas inilah yang terkenal dengan julukan Bahrul Ilm (lautan ilmu), Habrul Ummah   (Ulama Umat) dan Turjuman Al-Qur’an (Juru tafsir Al-Qur’an).









DAFTAR PUSTAKA
Adz-Dzahabī, Muhammad Husain. at-Tafsīr al-Mufassirūn. Jil.1. t.t: Maktabah Mush’ab bin ‘Umar al-Islāmiyyah, 2004.

Al-‘Aridl, ‘Ali Hasan. Sejarah dan Metodologi Tafsir. Terj. Ahmad Akrom. Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 1994.

Al-‘Uthaimīn, Muhammad bin Shālih. Syarh Ushūl at-Tafsīr. Riyādh: t.p, 1434 H.

Al-Qațțān, Mannā’ Khalīl. Mabāhith Fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Cairo: Maktabah Wahbah, t.th.

Arifin, M.Zainal. Pemetaan Kajian Tafsir: Perspektif Historis. Metodologis, Corak, dan Geografis. Kediri: STAIN Kediri Press, 2010.

As-Sayūthī, Jalaluddīn. al-Itqān Fī ‘Ulūm al-Qur’an. Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2012.

Ash-Shābūnī, Muhammad ‘Alī. at-Tibyān Fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Karachi: Maktabah al-Bushrā, 2011.

Ash-Shālih,Shubhī. Mabāhits Fī ‘Ulūm al-Qur’ān.  Beirut: Dār al-‘Ilm Lilmalayyīn, 1977.

Ash-Shiddieqy, Hasbi. Ilmu-Ilmu al-Qur’an. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002.

--------------------------. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009.

Asy-Syibashi, Ahmad. Sejarah Tafsir al-Qur’an. Terj. Pustaka Firdaus. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996.

Ignaz Goldziher.  Madzhab at-Tafsīr al-Islāmī. Cairo: Maktabah al-Mithn, 1955.

Nasikun. Sejarah dan Perkembangan Tafsir :Kumpulan dan Pembahasan atas Pendapat Para Ulama dalam Bidang Sejarah dan Perkembangan Islam. Yogyakarta: CV. Bina Usaha, 1984.





[1]‘Ali Hasan Al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj. Ahmad Akrom (Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 1994). 15-16.
[2]Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), 175-177.
[3]Mannā’ Khalīl al-Qațțān, Mabāhith Fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Cairo: Maktabah Wahbah, t.th), 326.
[4]Muhammad Husain adz-Dzahabī, at-Tafsīr al-Mufassirūn, jil.1 (tt: Maktabah Mush’ab bin ‘Umar al-Islāmiyyah, 2004), 29.
[5]M.Zainal Arifin, Pemetaan Kajian Tafsir: Perspektif Historis. Metodologis, Corak, dan Geografis (Kediri: STAIN Kediri Press, 2010), 9.
[6]Nasikun, Sejarah dan Perkembangan Tafsir :Kumpulan dan Pembahasan atas Pendapat Para Ulama dalam Bidang Sejarah dan Perkembangan Islam (Yogyakarta: CV. Bina Usaha, 1984). 5.
[7]Muhammad Husain adz-Dzahabī, at-Tafsīr al-Mufassirūn, 31-33.
[8]Nasikun, Sejarah dan Perkembangan Tafsir, 7.
[9]Mannā’ Khalīl al-Qațțān, Mabāhith Fī ‘Ulūm al-Qur’ān, 327.
[10]M. Zainal Arifin, Pemetaan Kajian:Perspektif Historis, Metodologis, Corak, dan Geografis, 9-13.
[11] Nasikun, 9
[12]Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, 178-179.
[13]M. Zainal Arifin, 11.
[14]Muhammad Husain adz-Dzahabī, at-Tafsīr al-Mufassirūn, 47-48.
[15]Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, 180-181.
[16]Muhammad ‘Alī Ash-Shābūnī, at-Tibyān Fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Karachi: Maktabah al-Bushrā, 2011), 96.
[17]Ahmad Asy-Syibashi, Sejarah Tafsir al-Qur’an, terj. Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), 71.
[18]Ignaz Goldziher,  Madzhab at-Tafsīr al-Islāmī (Cairo: Maktabah al-Mithn, 1955), 84.
[19]Ali Hasan Al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, 18.
[20]‘Ali Hasan Al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, 20-21.
[21]Ahmad Asy-Syibashi, Sejarah Tafsir al-Qur’an, 71.
[22]Muhammad bin Shālih al-‘Uthaimīn, Syarh Ushūl at-Tafsīr (Riyādh: t.p, 1434 H), 244.
[23]Muhammad ‘Alī Ash-Shābūnī, at-Tibyān Fī ‘Ulūm al-Qur’ān, 99.
[24]Muhammad bin Shālih al-‘Uthaimīn, Syarh Ushūl at-Tafsīr, 244.
[25]Shubhū ash-Shālih, Mabāhits Fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Beirut: Dār al-‘Ilm Lilmalayyīn, 1977), 289. Lihat juga Jalaluddīn As-Sayūthī, al-Itqān Fī ‘Ulūm al-Qur’an (Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2012), 588.
[26]Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu al-Qur’an (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002), 222.
[27]Muhammad Husain adz-Dzahabī, at-Tafsīr al-Mufassirūn, 71-72.
[28]Muhammad Husain adz-Dzahabī, at-Tafsīr al-Mufassirūn, 73.
close
==[ Klik disini 1X ] [ Close ]==