Blogroll

PEMIKIRAN POLITIK MODERN KAITANNYA DENGAN GERAKAN ISLAM RASYID RIDHA DAN PENGARUHNYA DI DUNIA ISLAM

A.           PENDAHULUAN
Sejarah merupakan realita masa lalu, keseluruhan fakta, dan merupakan peristiwa yang unik dan berlaku hanya sekali dan tidak akan terulang kedua kalinya. Oleh karena itu, sangat keliru orang yang tidak menghiraukan sejarah yang sangat mempengaruhi keadaan peradaban umat manusia saat ini, khususnya dalam sejarah peradaban umat Islam. Yaitu perjalanan pemikiran para pemikir islam dalam upaya pembaharuan Islam dari zaman klasik hingga modern. 
Persoalan peradaban jauh lebih penting dari aspek-aspek yang menjadi pendorong munculnya kejayan Islam dalam sejarah terletak pada tingginya peradaban yang di upayakan melalui ilmu pengetahuan. Adanya dukungan dari kebijakan politik dan ekonomi dalam memberikan simulasi bagi kegiatan-kegiatan keilmuan, dapat mendorong berkembangnya tradisi keilmuan bagi siapa saja yang menghendakinya. Pembahasan sejarah perkembangan peradaban islam yang sangat panjang dan luas itu tidak bisa dilepaskan dari pembahasan sejarah perkembangan politiknya. Tidak hanya politik yang menentukan perkembangan aspek-aspek peradaban tertentu melainkan karena sistem politik dan pemerintah itu sendiri merupakan salah satu aspek penting dari peradaban.
Dalam makalah ini, penulis akan mengulas hubungan pemikiran dan gerakan salah satu tokoh reformis dunia Islam Muhammad Rasyid Ridha, khususnya bidang politik yang membawa pembaharuan besar dalam dunia Islam modern.   








B.            PEMBAHASAN
1.      Biografi Rasyid Ridha
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha atau nama lengkapnya Muhammad Rasyid Ibn Ali Ridha Ibn Muhammad Syamsuddin Ibn Muhammad Bahaudddin Ibn Manla Ali Khalifah, lahir pada 27 Jumad al-Tsani 1282 H/ 18 Oktober 1865 M, di al-Qalamun suatu desa di Libanon yang letaknya tidak jauh dari kota Tripoli (Syiria). Ia berasal dari keturunan al-Husein, cucu Nabi Muhammad SAW, oleh karena itu ia memakai gelar “Sayyid” di depan namanya. Keluarganya berhijrah dari Baghdad dan menetap di Qalamun.[1]
Ayahnya merupakan seorang ulama dan penganut Thariqat Syaziliah, karena itu Rasyid Ridha pada waktu kecilnya selalu mengenakan jubah dan sorban, bertelekun dalam pengajian dan wirid sebagaimana kebiasaan pengikut Thariqat Syaziliah.
Pendidikannya di masa kecil, ia dimasukkan ke Madrasah tradisional untuk belajar menulis, berhitung dan membaca al-Quran di al-Qalamun. Setelah ia dewasa, pada tahun 1882 ia meneruskan pendidikannya di Madrasah al-Wataniah al-Islamiyah di Tripoli di bawah asuhan Syekh Husin al-Jisr. Di madrasah ini, selain bahasa Arab diajarkan juga bahasa Turki dan Perancis. Disamping pengetahuan-pengetahuan agama juga diajarkan pengetahuan modern karena pengasuh madrasah ini adalah seorang ulama Islam yang telah dipengaruhi oleh ide-ide modern.
Madrasah al-Wataniyah al-Islamiyah ini didirikan untuk mengimbangi sekolah-sekolah yang didirikan oleh Husin al-Jisr tersebut tidak berumur panjang kerena mendapat tantangan yang besar dari pemerintahan Kerajaan Usmani.
Setelah madrasah ini bubar, Rasyid Ridha meneruskan studinya di salah satu sekolah agama yang berada di Tripoli. Walaupun telah berpindah sekolah, tetapi hubungannya dengan al-Husin al-Jisr berjalan terus, dan guru inilah yang menjadi pembimbing baginya di masa muda. Disamping itu ia banyak pula dipengaruhi oleh ide-ide Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh melalui majalah al-Urwatul Wutsqa. Ia ingin sekali menggabungkan diri dengan Jamaluddin al-Afghani di Istanbul, tetapi niatnya tidak terkabul.
Ketika Muhammad Abduh dibuang ke Beirut ia mendapat kesempatan untuk bertemu dan berdialog dengan Muhammad Abduh. Pertemuan dan dialognya dengan Muhammad Abduh meninggalkan kesan yang baik dalam dirinya. Ide-ide dan pemikiran Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh sangat mempengaruhi jiwanya. Disamping itu ia banyak pula membaca buku-buku ilmu pengetahuan modern dari penulis di Cairo sehingga ia dapat mengenal lebih luas tentang Eropa (Barat).
Rasyid Ridha juga memperoleh tambahan ilmu dan semangat keagamaan melalui kitab-kitab yang ditulis al-Ghazali, antara lain Ihya Ulumuddin yang sangat mempengaruhi jiwa dan kehidupannya, terutama sikap patuh dan taat pada agama. Awalnya pembentukan intelektual dan keilmuannya lebih cenderung pada materi-materi klasik. Tetapi kemudian corak pemikirannya berubah setelah membaca kitab al-Ghazali yang membuat ia mengenal zuhud, tasawwuf serta ‘ubudiyah.
Kemudian ia bergabung dalam suluk “Tarekat Naqsyabandiyah”. Ia juga ikut bergabung dalam kegiatan-kegiatan dakwah di desanya serta wilayah sekitarnya yang membuat ia terbiasa dalam praktik-praktik dakwah. Ketertarikannya dalam tulis-menulis membuatnya menyusun sebuah buku tentang hikmah syari’at. Di sana ia menjelaskan secara terperinci tentang akhlak pada beberapa halaman. Pemikiran-pemikirannya dalam buku itu juga ada yang ditulis dalam bentuk syair.[2]  
Orientasi pemikiran Rasyid Ridha mengalami perubahan besar pada umurnya yang keduapuluh delapan (1310 H/ 1892 M). Hal itu terjadi setelah ia membaca beberapa lembaran majalah al-Urwah al-Wutsqa koleksi ayahnya yang diterbitkan di Paris oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Kemudian ia mulai mencari dan menyempurnakan lembaran-lembaran tersebut untuk menjadi sebuah delapan belas eksamplar yang sempurna. Ia menemukan lembaran-lembaran tersebut di perpustakaan gurunya Husin al-Jisr yang kemudian ia salin kembali dan tekuni dalam mempelajarinya baik dari segi metode, teori maupun tujuan-tujuannya. Hal ini menimbulkan perubahan pada bentuk pemikiran dan model keislamannya dalam memperbaiki keadaan masyarakat muslim. Sejak itu, Rasyid Ridha tertarik untuk menjadi murid lembaga Jami’ah al-Islamiyah milik Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh yang menyerukan pada pembaruan Islam serta pembaruan dunia melalui pembaruan agama. Keinginannya tersebut telah mengganti jalan keberagamaannya dari tarekat Naqsyabandiyah yang ia jalani sebelumnya.[3]
Rasyid Ridha mulai mencoba dan menerapkan ide-idenya ketika masih berada di Suria, tetapi usaha-usahanya mendapat tantangan dari pihak kerajaan Usmani. Ia merasa terikat dan tidak bebas, Sepeninggalnya Jamaluddin al-Afghani, akhirnya ia memutuskan untuk pindah ke Mesir pada tahun 1898 M, dekat dengan Muhammad Abduh. Ia pergi ke Mesir untuk menyebarluaskan pembaharuan di Mesir. Dua tahun kemudian ia menerbitkan majalah yang bernama “al-Manar” untuk menyebarluaskan ide-idenya dalam usaha pembaharuan. [4]
Sebagai Ulama yang selalu menambah ilmu pengetahuan dan selalu berjuang selama hidupnya. Ia meninggal dunia pada tanggal 23 Jumadil Ula 1354 H/ 22 Agustus 1935 M, ia meninggal dunia dengan aman sambil memegang al-Quran di tangannya.[5]


2.      Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan Rasyid Ridha
Majalah al-Manar yang diterbitkan Rasyid Ridha secara berkala memiliki tujuan yang sama dengan tujuan al-Urwah al-Wutsqa yaitu mengadakan pembaharuan di bidang agama, ekonomi, sosial, dan memberantas takhayul dan bid’ah-bid’ah yang termasuk kedalam tubuh umat Islam, menghilangkan paham fatalisme yang terdapat dalam tubuh umat Islam serta paham-paham yang salah yang dibawa oleh tarekat-tarekat, meningkatkan mutu pendidikan serta membela umat Islam dari permainan politik negara-negara Barat. Majalah ini merupakan suara pembaharuan Islam yang terpenting di dunia Arab ketika itu.[6]
Majalah ini banyak menyebarkan ide-ide dan buah pikiran Ibnu Taimiyah, Muhammad bin Abdul Wahab, Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh.
Pada dasarnya pokok-pokok pikiran Rasyid Ridha tidak jauh berbeda dengan pokok-pokok pikiran Jamaluddin al-Afghani dan gurunya Muhammad Abduh. Terutama titik tolak pembaharuan berpangkal pada segi keagamaan, tuntutan adanya kemurnian ajaran Islam, baik dari segi akidahnya maupun dari segi amaliyahnya.
Menurut pendapat Rasyid Ridha sebagaimana juga pendapat Jamaluddin al-Afghani bahwa umat Islam mundur karena tidak lagi menganut ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Pemahaman umat Islam terhadap ajaran-ajaran agama salah dan perbuatan-perbuatan mereka telah menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Telah masuk ke dalam Islam segala khurafat dan takhayul serta bid’ah-bid’ah, karena itu menurut analisis Rasyid Ridha, ajaran Islam yang murni akan membawa kemajuan umat Islam, oleh karena itu segala macam khurafat, takhayul, bid’ah, serta ajaran-ajaran yang menyeleweng dari ajaran Islam harus dikikis dan disingkirkan.
Di antara aktivitas beliau dalam bidang pendidikan antara lain membentuk lembaga pendidikan yang bernama “al-Dakwah wa al-Irsyad” pada tahun 1912 di Cairo. Pada awalnya beliau mendirikan madrasah tersebut di Konstantinopel terutama maminta bantuan pemerintah setempat akan tetapi gagal, karena tidak mendapat dukungan pemerintah, akhirnya beliau mendirikannya di Cairo. Motif mendirikan madrasah ini, ialah karena adanya keluhan-keluhan dari negeri-negeri Islam, di antaranya dari Indonesia, tentang aktivitas misi di negeri-negeri mereka. Untuk mengimbangi sekolah tersebut dipandang perlu mengadakan sekolah misi Islam.
Para lulusan dari sekolah madrasah ini akan dikirim ke negeri mana saja yang memerlukan bantuan mereka. Akan tetapi umur madrasah ini tidaklah panjang karena situasi perang dunia yang pertama.
Dalam bidang politik, Rasyid Ridha juga tidak ketinggalan, sewaktu beliau masih berada di tanah airnya, ia pernah berkecimpung dalam dalam bidang ini, demikian pula setelah berada di Mesir akan tetapi gurunya Muhammad Abduh memberi nasehat agar ia menjauhi lapangan politik. Namun nasehat itu diturutinya hanya ketika Muhammad Abduh masih hidup, dan setelah ia wafat Rasyid Ridha aktif kembali, terutama melalui majalah al-Manar.
Bentuk pemerintahan yang dikehendaki oleh Rasyid Ridha adalah bentuk kekhalifahan yang tidak absolut, khalifah hanya bersifat koordinator, tidaklah mungkin menyatukan umat Islam ke dalam satu sistem pemerintahan yang tunggal, karena khalifah hanya menciptakan Hukum Perundang-undangan dan menjaga pelaksanaannya. Di samping itu khalifah adalah seorang mujtahid sehingga ia dapat menerapkan prinsip-prinsip ajaran Islam dan dengan bantuan para ulama mendorong umat maju sesuai dengan tuntutan zaman.
Sebagaiman Jamaluddin ia juga melihat perlu dihidupkannya kembali persatuan umat Islam. Karena salah satu kemunduran bagi umat ialah perpecahan yang terjadi di kalangan umat Islam sendiri. Persatuan umat Islam yang dikehendaki Rasyid Ridha adalah persatuan yang luas, persatuan atas dasar keyakinan yang sama, seiman dan senasib dalam seagama serta penuh toleransi antara satu sama lainnya.
Rasyid Ridha menyadari pertentangan yang makin ada di antara nasionalisme dan kesetiaan kepada persatuan Islam. Dan memecahkan masalah tersebut dengan menyatakan bahwa kepentingan politik Arab identik dengan kepentingan politik secara keseluruhan, adanya sebuah negara Arab merdeka akan menghidupkan kembali bahasa dan hukum Islam, apabila ada konflik, maka ia akan mengutamakan kewajiban agama daripada kewajiban nasional. Oleh karena itu Ridha tidak mendukung ide-ide nasionalisme sebagaimana yang dikembangkan oleh Mustafa Kamil dari Mesir.
Menurut Rasyid Ridha, paham nasionalisme bertentangan dengan paham persatuan umat Islam, karena persatuan umat Islam tidak mengenal adanya perbedaan bangsa dan bahasa, tetapi terciptanya persaudaraan yang tunduk di bawah satu undang-undang yang dijalankan oleh seorang khalifah yang tidak absolut dan mujtahid.[7]
3.      Pengaruh Pemikiran Politik Rasyid Ridha di Dunia Islam Modern
Kontribusi pemikiran Rasyid Ridha dalam dunia politik berkembang melalui majalah al-Manar yang diterbitkannya satu tahun 12 kali itu ternyata sangat berpengaruh tidak hanya di mesir saja tapi ternyata terbesar di seluruh dunia islam. Karena isi al-manar itu disamping membangkitkan semangat baru bagi ummat islam untuk lebih maju juga berisi tentang fatwa-fatwa dan tafsir-tafsir Muhammad Abduh. Dengan pembahasan yang jelas, umat islam merasa mendapat udara baru dan petunjuk ke jalan yang benar. Maka dengan tidak diduga majalah kecil itu sampai pula di indonesia.[8] Pemikiran-pemikirannya yang terkandung dalam majalah al-Manar kuat sekali mempengaruhi umat Islam Indonesia. pemikirannya yang sangat terasa di Indonesia adalah pemberantasan bid’ah dan khurafat, serta perumusan kembali keyakinan dan pengamalan Islam disesuaikan dengan pemikiran dan peradaban modern. Pemikiran pembaharuan Rasyid Ridha mendapat perhatian dan mempengaruhi dunia Islam. Setelah pembukaan Dar al-Da’wah wa al-Irsyad di Kairo, Rasyid mendapat undangan dari kalangan tokoh Islam India untuk membuka lembaga pendidikan semacam itu di India. Hal ini membuktikan bahwa pemikirannya mendapat perhatian dan mempengaruhi umat Islam India.

C.     PENUTUP                                                                                                                                                   Kesimpulan
Menurut analisis penulis, pemikiran Rasyid Ridha berupa usaha-usaha pembaharuan Islam mengikut pemikiran guru-gurunya yaitu Husin al-Jisr, Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Rasyid Ridha sebagaimana gurunya Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh yang juga merupakan tokoh pembaharu Islam ingin memurnikan akidah umat Islam dengan memberantas bid’ah, takhayul, khurafat, paham fatalisme, serta tarekat-tarekat tasawuf yang dianggap menyeleweng dari ajaran Islam. Walaupun tidak belajar langsung dengan Jamaluddin al-Afghani, tetapi pemikiran-pemikiran Jamaluddin al-Afghani sampai kepadanya melalui majalah yang dibuatnya.
Untuk menyatukan umat Islam dan memurnikan akidah umat Islam, Rasyid Ridha terinspirasi majalah Jamaluddin al-Afghani al-Urwah al-Wutsqa yang memiliki pengaruh sangat besar bagi umat Islam saat itu. Sehingga Rasyid Ridha menerbitkan majalah yang bernama al-Manar. Majalah ini berisikan pemikiran-pemikiran Ibnu Taimiyah, Muhammad bin Abdul Wahhab, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, serta hasil diskusinya dengan guru-gurunya. Bukan hanya itu majalah ini juga menghimpun pertanyaan-pertanyaan dari berbagai negara yang ia jawab melalui majalah tersebut. 
Bukan hanya dalam hal akidah Islamiyah, dalam hal pendidikan pun Rasyid Ridha ingin melakukan pembaharuan demi kemajuan kualitas umat Islam. Sebagaimana pendidikannya dengan gurunya Husin al-Jisr yang tidak hanya mempelajari pengetahuan agama tetapi juga pengetahuan modern. Hal ini bertujuan agar umat Islam tidak tertinggal dari negara Barat yang lebih modern dan lebih menyesuaikan perkembangan zamannya.
            Satu hal lagi yang ia lanjutkan dari pemikiran Jamaluddin al-Afghani yaitu persatuan umat Islam. Ia menginginkan seluruh umat Islam berada di bawah kepemimpinan seorang khalifah yang tidak bersifat absolut dan mujtahid. Ia menentang nasionalisme karena ia menganggap Islam adalah sama tanpa ada yang membedakan baik bangsa maupun bahasa. Menutnya hal ini yang menyebabkan perpecahan dalam Islam. Pembagian wilayah Islam oleh batas-batas negara menjadikan Islam seolah-olah berbeda antara wilayah satu dengan wilayah yang lain.
Pemikiran politik Rasyid Ridha menyebar luas ke berbagai penjuru dunia Islam melalui majalah al-Manar, termasuk indonesia.
            Adapun kritik penulis terhadap pemikiran ini adalah bahwa dengan adanya pemurnian terhadap ajaran yang berbau bid’ah, khurafat, tahayul memang akan melahirkan akidah yang lebih kuat. Tetapi kenyataannya pemikiran ini melahirkan kelompok radikal yang senang mengkafirkan orang lain dan hanya menganggap mereka yang benar.
Meninggalkan serta merubah segala hal yang menunjukkan ketertinggalan umat Islam dari negara Barat memang sangat penting, akan tetapi, sikap terbuka terhadap segala hal yang berbau modern tidak menutup kemungkinan menjadi tantangan baru bagi akidah maupun persatuan umat Islam sendiri sehingga dapat menimbulkan beberapa kubu baru seperti munculnya kelompok-kelompok berpaham liberal.
             Pemikiran Rasyid Ridha yang mengharapkan adanya khilafah Islamiyah bisa dianggap “menginspirasi” beberapa kelompok untuk menuntut persatuan umat di bawah seorang khalifah. Akan tetapi kelompok ini sepertinya hanya mempertajam bentuk perpecahan dalam masyarakat Islam








[1]Muhammad Imarah, Mencari Format Peradaban Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), 1.
[2]Muhammad Imarah, Mencari Format Peradaban Islam..., 2.
[3]Muhammad Imarah, Mencari Format Peradaban Islam..., 2-3.
[4]Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Pergerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam: Dirasah Islamiyah III (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1998), 82-84.
[5]Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Pergerakan Pembaharuan..., 88.
[6]Jhon J. Donohue dan John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-Masalah, terj. Machnun Husein ( Jakarta: Rajawali Pers, 1993), 90.
[7]Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Pergerakan Pembaharuan..., 85-88.
[8] Afif Azhari dan Mimien Maimunah, Muhammad Abduh dan Pengaruhnya di Indonesia, (Surabaya: Al-Ikhlas,1996),45-46. 
close
==[ Klik disini 1X ] [ Close ]==