PENDAHULUAN
Wakaf merupakan
salah satu bagian yang sangat penting dari hukum Islam. Ia mempunyai jalinan
hubungan antara kehidupan spritual dengan bidang sosial ekonomi masyarakat
muslim. Wakaf selain berdimensi ‘ubudiyah ilahiyah, ia juga
berfungsi sebagai sosial kemasyarakatan. Ibadah wakaf merupakan manisfestasi
dari rasa keimanan seseorang yang mantap dan rasa solidaritas yang tinggi
terhadap sesama umat manusia. Wakaf sebagai perekat hubungan “hablumminallah
wa hablum minannas”, hubungan vertikal kepada Allah dan hubungan horizontal
kepada sesama manusia.
Wakaf merupakan
salah satu ibadah kebendaan yang penting yang secara ekplisit tidak memiliki
rujukan dalam kitab suci Al-Quran.
Walaupun dalam al-Qur’an, kata wakaf yang bermakna memberikan harta tidak ditemukan
sebagaimana zakat, tetapi ia merupakan interprestasi ulama mujtahid
terhadap ayat-ayat yang membicarakan pendermaan harta berupa sedekah dan ‘amal
jariyah. Di antara ayat-ayat tersebut yaitu QS. Ali
Imran/3: 92 dan QS. Al-Hajj/22: 77, para ulama memahami ayat-ayat tersebut
sebagai ibadah wakaf. Meski demikian, al-Qur’an dapat dikatakan sebagai sumber
utama perwakafan. Lalu bagaimana
sebenarnya penafsiran terhadap ayat-ayat yang dijadikan sebagai dalil
dianjurkannya wakaf tersebut?
Dalam makalah
ini akan dibahas pengertian dan hal-hal yang berkaitan dengan wakaf dan
penafsiran ayat al-Qur’an yang dijadikan sebagai dalil dianjurkannya wakaf di
atas.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Wakaf
Wakaf secara harfiah berarti
berhenti, menahan atau diam. Wakaf sering kali diartikan sebagai aset yang
dialokasikan untuk kemanfaatan umat di mana substansi ditahan, sementara
manfaatnya boleh dinikmati untuk kepentingan umum. Secara administratif wakaf dikelola
leh nâzhir yang merupakan
pengemban amanah wâqif (orang yang memberi wakaf).[1]
Dalam istilah syara’ wakaf adalah sejenis pemberian yang
pelaksanaanya dilakukan dengan jalan menahan (kepemilikan) asal (tahbisul
ashli), lalu menjadikan manfaatnya berlaku umum. Yang dimaksud tahbisul
ashli ialah menahan barang yang
diwakafkan agar tidak diwariskan, dijual, dihibahkan, digadaikan, disewakan dan
sejenisnya. Sedangkan cara pemanfaatanya adalah menggunakan sesuai dengan kehendak pemberi wakaf tanpa
imbalan.[2]
B.
Rukun wakaf
1.
Wâqif (orang yang
mewakafkan harta)
2.
Mauqûf bîh
(barang atau harta yang diwakafkan)
3.
Mauqûf ‘alaih
(pihak yang diberi wakaf / peruntukkan wakaf)
4.
Shîghat (pernyataan
atau ikrar wakif sebagai suatu kehendak untuk mewakafkan sebagian harta
bendanya).[3]
C.
Syarat-syarat wakaf
1.
Selama-lamanya (tidak dibatasi dengan waktu)
2.
Tunai dan tidak ada khiyar syarat
3.
Hendaklah jelas kepada siapa diwakafkan.[4]
D.
Dalil Yang Berkaitan Dengan Wakaf
Dalil dianjurkannya wakaf memang tidak disebutkan secara tegas di
dalam al-Qur’an sebagaimana penyebutan perintah-perintah zakat atau pun yang
lainnya, namun ahli fiqih mengambil dalil dianjurkannya berwakaf didasarkan pada QS. Ali Imran/3: 92 berikut:
لَن تَنَالُواْ
الْبِرَّ حَتَّى تُنفِقُواْ مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَيْءٍ
فَإِنَّ اللّهَ بِهِ عَلِيمٌ
Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan
sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa pun yang kamu infakkan, tentang hal
itu sungguh, Allah Maha Mengetahui.(QS:
ali Imrah/3: 92)
Dalam ayat ini menegaskan bahwa tidak akan meraih kebaikan sebelum
kalian menginfakkan sebagian harta yang kalian cintai.[5]
Dan apa saja yang kalian infakkan, maka sesungguhnya Allah pasti megetahuinya. Anjuran
untuk bernafkah di jalan Allah swt. apa yang disukai. Mencampurkan yang disukai
atau yang tidak disukai pun dapat ditoleransi,
tetapi itu bukan cara terbaik untuk meraih kebajikan yang sempurna.[6]
Kemudian makna lan tanâlul birra (sekali-kali kalian
tidak akan meraih kebaikan), yakni segala yang ada di sisi Allah swt.
berupa pahala, kemuliaan, dan surga hanya dapat diraih manakala kalian
menginfakkan harta yang kalian cintai. Menurut pendapat yang lain, lan tanâlul
birra berarti, kalian tidak akan sampai pada ketawakalan dan ketakwaan. Hattâ
tunfiqû min mâ tuhibbûn, wa mâ tuηfiqû min syai`in (sebelum kalian menginfakkan
sebagian harta yang kalian cintai. Dan apa saja yang kalian infakkan), yakni
harta benda. Fa innallâha bihî (maka sesungguhnya Allah kepadanya) dan
kepada niat kalian.‘Alîm (pasti mengetahui), apakah bertujuan untuk
mengharap ridha Allah swt. atau demi mendapat pujian orang lain.[7]
Kata al-Birr di atas, pada mulanya berarti “keluasan
dalam kebajikan” dan dari akar kata yang sama dengan kata “daratan” dinamai al-barr
karena luasnya kebajikan mencakup segala bidang, serta tentu saja termasuk
menginfakkan harta di jalan Allah (berwakaf).[8]
Pada ayat sebelumnya disebutkan bahwa siapa yang meninggal dalam
kekufuran maka tidak akan diterima atau berguna nafkahnya untuk menampik siksa
yang akan menimpanya. Maka disini dikemukakan kapan dan bagaimana sehingga
nafkah seseorang dapat bermanfaat. Yakni bahwa yang dinafkahkan hendaknya harta yang disukai, karena kamu sekali-kali
tidak meraih kebajikan (yang sempurna),
sebelum kamu menafkahkan sebahagian dari harta benda yang kamu sukai dengan
cara yang baik dan tujuan yang baik serta
motivasi yang benar. Jangan khawatir untuk rugi
atau menyesal dengan pemberianmu
yang tulus, karena apa yang kamu nafkahkan baik itu dari harta yang kamu sukai
maupun yang tidak kamu sukai. Maka
sesungguhnya tentang segala sesuatu yang menyangkut hal itu Allah Maha Mengetahui,
dan Dia yang akan memberi ganjaran untuk kamu, baik itu di dunia maupun di akhirat
kelak.
Thabathaba’i dalam tafsirnya, al-Mizan, menyebutkan seteleh
terlebih dahulu mengemukakan
ketidakjelasan hubungan ayat ini dengan ayat-ayat sebelumnya. Ia menduga boleh
jadi ayat ini ditujkan kepada Bani Isra’il. Yakni setelah dalam ayat-ayat yang
lalu mereka dikecam akibat perhatian dan kecintaan yang demikian besar terhadap
kehidupan dunia dan harta dengan mengabaikan tuntunan agama, di sini mereka
sekali lagi dikecam bahwa ”kalian berbohong ketika berkata bahwa kalian
adalah kekasih Allah dan pengikut para Nabi. Atau orang-orang yang bertakwa dan
berbuat kebaikan, karena kalian sangat mencintai harta-harta kalian yang baik dan kikir menafkahkannya,
padahal kalian tidak akan meraih kesempurnaan dalam kebajikan jika tidak
menafkahkan apa yang kalian sukai”.
Selain QS. Ali Imran ayat 92 yang telah disebutkan di atas, juga
berdasarkan QS. al-Hajj/22: 77 berikut:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا
الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Wahai orang-orang yang beriman! Rukuklah, sujudlah dan sembahlah
Tuhanmu; dan berbuatlah kebaikan, agar kamu beruntung. (QS. al-Hajj/22: 77)
Maksud kata “Waf’alȗ al-Khair” (kerjakanlah kebaikan) yaitu mengerjakan kebaikan mencakup setiap apa
saja yang bisa memperindah hubungan
hamba dengan Tuhannya, dan memperbagus hubungan hamba dengan sesama manusia. Perintah
di sini lebih umum, yakni melakukan setiap kebajikan yang mencakup ibadah,
ketika kita memperhatikan makna ayat ini akan menemukan bahwa perintah dalam
ayat tersebut masih runtut. Pertama ayat tersebut memerintahkan ibadah khusus
yaitu shalat, kemudian memerintahkan melakukan ibadah umum yaitu semua ibadah,
“sembahlah tuhan kalian”, memerintahkan dengan perintah yang lebih umum
dari kesemuanya, dalam firman Allah “lakukanlah kebajikan”.
Pendapat lain
dikatakan, bahwa perintah melakukan ibadah mencakup mengerjakan yang fardhu,
sedangkan perintah melakukan kebajikan adalah mencakup ibadah sunnah.
“La’allakum Tuflihȗn” (mudah-mudahan kalian termasuk orang
yang beruntung). Kkata mudah-mudahan adalah sebuah harapan yang hakiki, yaitu
mentakdirkan bahwa ini harapan dari seorang hamba. Beruntung adalah
keuntungan memperoleh laba, yaitu kebahagian abadi di hari akhir dan kesejukan
hidup di dunia.[9]
Sedangkan di dalam tafsir al-Mishbah, kata La’allakum tuflihun
(semoga kamu mendapat kemenangan) mengandung isyarat bahwa amal-amal yang
diperintahkan itu, hendaklah dilakukan dengan harapan memperoleh al-falah
(keberuntungan) yakni apa yang diharapkan di dunia dan di akhirat. Kata la’alla
(semoga) yang tertuju kepada para pelaksana kebaikan itu, memberi kesan bahwa
bukan amal-amal kebaikan itu yang menjamin perolehan harapan dan keberuntungan
apalagi surga, tetapi surga adalah anugerah Allah dan semua keberuntungan
merupakan anugerah dan atas izin-Nya semata. Kata tuflihun terambil dari
kata falaha yang juga digunakan dalam arti bertani. Penggunaan kata itu
memberi kesan bahwa seorang yang melakukan kebaikan, hendaknya jangan segera
mengharapkan tibanya hasil dalam waktu yang singkat. Ia harus merasakan dirinya
sebagai petani yang harus bersusah payah membajak tanah, menanam benih,
menyingkirkan hama, dan menyirami tanamannya, lalu harus menunggu hingga
memetik buahnya.[10]
M. Quraish Shihab berpendapat bahwa ayat ini secara umum telah
mencakup semua tuntunan Islam, dimulai dari akidah yang ditandai dengan
penamaan mereka yang diseru dengan sebutan “orang-orang yang beriman”,
selanjutnya dengan memerintahkan shalat dengan menyebut dua rukunnya yang
paling menonjol yaitu rukuk dan sujud. Perintah shalat disebutkan secara khusus
karena ibadah ini merupakan tiang agama. Setelah itu disebut aneka ibadah yang
mencakup banyak hal, bahkan dapat mencakup aktivitas sehari-hari jika
motivasinya adalah mencari ridha ilahi, dan akhirnya ditutup dengan
perintah berbuat kebajikan yang menampung seluruh kebaikan duniawi dan ukhrawi,
baik yang berdasar wahyu maupun nilai-nilai yang sejalan dengan tujuan syariat,
baik yang berupa hukum dan undang-undang maupun tradisi dan adat istiadat. Jika
hal-hal di atas dipenuhi oleh satu masyarakat, maka tidak diragukan pastilah
mereka secara individual dan kolektif, akan meraih keberuntungan yakni meraih
apa yang mereka harapkan di dunia dan di akhirat.[11]
Al-Maraghi menafsirkan ayat ini sebagai berikut:
“Wahai orang-orang yang mempercayai Allah dan rasul-Nya, tunduklah
kepada Allah dengan bersujud, beribadahlah kepada-Nya dengan segala apa yang
kalian gunakan untuk menghambakan diri kepada-Nya, dan berbuatlah kebaikan yang
diperintahkan kepada kalian, seperti mengadakan hubungan silaturahmi dan
menghiasi diri dengan akhlak yang mulia, supaya kalian beruntung memperoleh
pahala dan keridhaan yang kalian cita-citakan.”[12]
Ayat
di atas, memang tidak secara tegas menyinggung tentang wakaf. Namun, ayat di atas
lah yang dijadikan para ahli fiqih sebagai dalil dianjurkannya berwakaf didasarkan pada keumuman ayat-ayat al-Quran tentang perintah lakukanlah kebaikan, yang mana kata kebaikan itu
mengandung arti yang umum yang termasuk pula di dalamnya perintah untuk
berwakaf, karena dengan wakaf akan mendekatkan hubungan seorang hamba dengan
tuhannya dan dengan sesama manusia.
Ulama berpendapat bahwa perintah
wakaf merupakan bagian dari perintah untuk melakukan al-khayr (secara
harfiah berarti kebaikan). Imam Al-Baghawi menafsirkan bahwa peerintah untuk
melakukan al-khayr berarti perintah untuk melakukan silaturrahmi, dan
berakhlak yang baik. Sementara Taqiy al-Din Abi Bakr Ibn Muhammad al-Husaini
al-Dimasqi menafsirkan bahwa perintah untuk melakukan al-khayr berarti
perintah untuk melakukan wakaf.
Dalam ayat tentang wasiat, kata al-khayr
diartikan dengan harta benda. Oleh karena itu, perintah melakukan al-khayr
berarti perintah untuk melakukan ibadah bendawi. Dengan demikian, wakaf sebagai
konsep ibadah kebendaan berakar pada al-khayr. Allah memerintahkan
manusia untuk mengerjakannya.[13]
Bertitik tolak dari ayat al-Quran
yang menyinggung tentang akaf tersebut nampak tidak terlalu tegas. Karena itu
sedikit sekali hukum-hukum wakaf yang diterapkan berdasarkan kedua sumber
tersebut. Sehingga ajaran wakaf ini diletakan pada wilayah yang bersifat ijtihadi,
bukan ta’abbudi, khususnya yang berkaitan dengan aspek pengelolaan,
jenis wakaf, syarat, peruntukan dan lain-lain.
Meskipun demikian, ayat al-Quran
yang sedikit itu mampu menjadi pedoman para ahli fikih Islam. Sejak masa Khulafa`ur
Rasyidin sampai sekarang, dalam membahas dan mengembangkan hukum-hukum
wakaf dengan menggunakan metode penggalian hukum (ijtihad) mereka. Sebab
itu sebagian besar hukum-hukum wakaf dalam Islam ditetapkan sebagai hasil
ijtihad, dengan menggunakan metode ijtihad seperti qiyas, mashlahah mursalah
dan lain-lain.
PENUTUP
Berwakaf bukan hanya seperti sedekah biasa, tetapi lebih besar ganjarannya
dan manfaatnya terhadap diri sendiri, karena ganjaran wakaf itu terus-menerus
mengalir selama barang itu masih berguna, barang asalnya tetap, tidak boleh
dijual, diwariskan, diberikan atau dihibahkan. Sekarang kalau kiranya wakaf itu
tidak ada manfaatnya atau kurang manfaatnya maka boleh dijual. Seperti menjual
tikar mesjid yang sudah tidak pantas dipakai lagi agar jangan tersia-sia maka
hasilnya digunakan untuk kemaslahatan mesjid. Kata Ibnu Taimiyah, “sesungguhnya
yang menjadi pokok disini guna menjaga kemaslahatan. Allah memerintahkan
menjalankan kemaslahatan dan menjauhkan kerusakan. Allah mengutus utusan-Nya
guna meneympurnakan kemaslahatan dan melenyapkan segala kerusakan.
[1]Achmad
Djunaidi, Menuju Era Wakaf Produktif (Depok: Mumtaz Publishing, 2007),
III.
[2]Departemen
Agama RI, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia (t.t: Paradigma Baru, 2007),
1.
[3]Departemen
Agama RI, Fiqih wakaf (t.t: Paradigma Baru, 2007), 21.
[4]Sulaiman
Rasjid, Fiqih Islam (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2014), 341-343.
[5]M. Quraisy
Shihab, al-Lubab: Makna, Tujuan, dan Pembelajaran dari Surah-Surah al-Qur’an, (Tangerang:
Lantera Hati, 2012), 121.
[6]M. Quraisy
Shihab, al-Lubab: Makna, Tujuan, dan Pembelajaran dati Surah-Surah al-Qur’an, 122.
[7]Ali bin Abi
Thalhah, Tanwȋrul Miqbâs min Tafsir Ibnu ‘Abbas (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, 1991),
[8]M. Quraisy
Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan an Keserasian al-Qur’an, juz 2 (Ciputat,
Lentera Hati, 2000), 142-143.
[9]Ahmad Muhammad
al-Hushari, Tafsir ayat-ayat ahkâm terj. Abdurrahman Kasdi (Jakarta:
Pustaka al-Kautsar), 65.
[10]M. Quraisy
Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan an Keserasian al-Qur’an, 132-133.
[11]M. Quraisy
Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan an Keserasian al-Qur’an, 130-133.
[12]Ahmad Mushthafa
Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi (Kairo: Mushthafa al-Babi al-Halabi, 1993), 262.
[13]Nana Rusdiana,
“Tafsir Ahkam Tentang Wakaf” dalam http://sina-na.blogspot.co.id/2016/03/makalah-tafsir-ahkam-tentang-wakaf.html,
diakses 10 Mei 2017.