A.
Biografi Ibnu Katsir
Namanya adalah Imaduddin Abȗl Fidâ Ismâȋl bin al-Khatib Abȗ Hafs ‘Umar
bin Katsȋr asy-Syâfi’ȋ al-Quraisyȋ ad-Dimasyqi, Banȋ Hashlah tetapi lebih
dikenal dengan nama Ibnu Katsir. Ia lahir di Basrah, Suriah pada sekitar tahun
1300 M atau 700 H.[1]
Saat masih kecil ayahnya meninggal sehingga ia diasuh oleh pamannya dan dibawa
ke Damaskus. Di kota inilah ia tumbuh besar dan banyak menimba berbagai ilmu
agama dan sejarah dari para ulama terkenal di antaranya Kamaluddin’Abd Wahab,
ibn Asy-Syuhnah, al-Amdi, Ibn Asâkir dan lainnya. Dari sekian banyak gurunya
ibnu Katsir paling banyak belajar kepada Yusȗf bin’Abdurrahmân al-Mazzȋ. Dia
pernah belajar kitab rijal Hadits, dengan membaca kitab Tahzib
al-kamal dihadapan sang guru smpai
selesai. Demikian pula, ia banyak menghabiskan waktu belajarnya dengan Ibnu
Taimiyah. Sejak masa-masa belajarnya, Ibnu Katsȋr sangat dikenal oleh guru-guru
dan teman-temannya sebagai seorang murid yang cerdas dan mempunyai daya ingat
yang kuat. Sehingga tidak heran jika setelah tumbuh dewasa, ia menjadi seorang
ulama besar[2]
yang sangat ahli dalam bidang al-Quran,
tafsir, hadits, fiqh, dan sebagainya.[3]
Ibnu Katsȋr meninggal pada bulan Sya’bân tahun 774 H, bertepatan dengan bulan
Februari 1373 M.[4]
ia dimakamkan di Damaskus, bersebelahan dengan makam gurunya Ibnu Taimiyah.
B.
Latar Belakang Penulisan
Tentang Kitab Tafsir Ibnu Katsir Salah satu karya Ibnu Katsir yang
monumental dan populer hingga sekarang adalah Tafsir Ibnu Katsir. Mengenai nama
tafsir yang dikarang oleh Ibnu Katsir ini tidak ada data yang dapat memastikan
berasal dari pengarangnya. Hal ini karena dalam kitab tafsir dan karya-karya
lainnya Ibnu Katsir tidak menyebutkan judul/nama bagi kitab tafsir, padahal
untuk karya-karya lainnya ia menamainya. Ada beberapa pendapat mengenai nama
tafsir Ibnu Katsir
1.
Para penulis sejarah tafsir al-qur’an seperti Muhammad Husaȋn
al-Zahabi dan Muhammad ‘Alȋ al-Sâbȗnȋ menyebut tafsir karya ibnu katsir ini dengan
nama Tafsir al-Qur’ân al-‘Azȋm.
2.
ada pula yang memakai judul Tafsir Ibnu Katsir, perbedaan
nama/judul tersebut hanyalah pada namanya sedangkan isinya sama.
3.
Sementara Ibnu Thaqri Bardi menyebut karya tersebut dengan nama
Tafsir Al-Quran al-Karim.
Ketiga nama itu sebenarnya bisa diterima sebagai esensi yang
dimaksudkan tidak lain adalah Tafsir Ibnu Katsir karya Ibnu Katsir sendiri.
Tafsir al-Quran al-‘Azhim. Dari masa hidup penulisnya diketahui
bahwa kitab tafsir ini muncul pada abad ke-8 H/14 M. Berdasarkan data
yang diperoleh kitab ini pertama kali diterbitkan di Kairo pada tahun 1342 H/
1923 M yang terdiri dari empat jilid.
Tafsir ini menggunakan sumber-sumber primer yang menjelaskan
ayat-ayat al-quran dengan bahasa yang sederhana dan gampang dipahami. Tafsir
ini lebih mementingkan riwayat-riwayat yang otentik dan menolak
pengaruh-pengaruh asing seperti israiliyat. Tafsir ini merupakan salah satu
kitab yang berkualitas dan otentik.
Tafsir ini disusun oleh Ibnu Katsir berdasarkan sistematika
tertib susunan ayat-ayat dan surat-surat dalam mushaf al-Quran yang lazim
disebut sebagai sistematika tertib mushafi. Secara rinci kandungan dan urutan
tafsir yang terdiri dari empat jliid ini ialah jilid 1 berisi tafsir surah
al-fatihah (1) s/d an-nisa (4), jilid II berisi tafsir surah al-maidah (5) s/d
an-nahl (16), jilid III berisi tafsir surah al-isra(17) s/d Yasin (36), dan
jilid IV berisi surah al-saffat (37) s/d an-nas (114).
Tafsir ini merupakan tafsir paling masyhur yang memberikan
perhatian besar terhadap apa yang diriwayatkan dari para mufassir salaf dan
menjelaskan makna-makna ayat dan hukum-hukumnya serta menjauhi pembahasan
i’rab dan cabang balagah pada umumnya dibicarakan secara panjang lebar oleh
kebanyakan mufassir.[5]
Namun jika menguraikan masalah balagah dan i’rab sangat padat dan mengena. Jika tidak terlalu
tenggelam dalam mendiskusikan masalah-masalah fiqih, ia memang sering mendiskusikan
tapi seperlunya. Perhatian utamanya adalah menafsirkan al-qur’an dengan
sumber-sumber yang dapat dipercaya. Maka wajar, jika sementara ulama mengakui
tafsir ini sunyi dari kontaminasi penafsiran Israiliyyat dan jauh dari riwayat-riwayat palsu (maudu’at).
Masalah Israiliyyat mendapat perhatian khusus Ibnu Katsȋr.
Dalam tafsirnya ini, ia snagat serius membongkar riwayat-riwayat Israiliyyat
yang banyak dimuat dalam kitab-kitab tafsir lian. [6]
C.
Sumber penulisan
1. Tafsir
ath-Thabâri
2. Tafsir Ibnu
Hâtim
3. Tafsir Ibnu
‘Athiyyah dan lainnya.
D.
Corak dan Metode Tafsir Ibnu Katsȋr
Tafsir karya monumental Ibnu Katsir itu ada pendapat yang
mengatakan bahwa dari segi metodologi ia menganut sistem tradisional, yakni
sistematika tertib mushaf dengan merampungkan penafsiran seluruh ayat dari surah
al-fatihah hingga akhir surah an-Nas. Dikatakan bahwa dalam
operasionalisasinya, Ibnu Katsir menempuh cara pengelompokkan ayat-ayat
berbeda, namun tetap dalam konteks yang sama. Metode demikian juga ditempuh
beberapa mufassir di abad 20-an seperti Rasyid Ridha, Al-Maraghi,
Al-Qasimi.
Kitab ini dapat dikategorikan sebagai salah satu kitab tafsir
dengan corak dan orientasi (al-laun wa ittajah) tafsir bi al-ma’tsur /tafsir bi
al-riwayah, karena dalam tafsir ini sangat dominan memakai riwayat/hadis,
pendapat sahabat dan tabi’in.[7]
Adapun metode (manhaj) yang ditempuh Ibnu Katsir dalam menafsirkan al-Quran dapat dikategorikan sebagai manhaj tahlili (metode analitis). Kategori ini dikarenakan pengarangnya menafsirkan ayat demi ayat secara analitis menurut urutan mushaf al-Quran.[8]
Adapun metode (manhaj) yang ditempuh Ibnu Katsir dalam menafsirkan al-Quran dapat dikategorikan sebagai manhaj tahlili (metode analitis). Kategori ini dikarenakan pengarangnya menafsirkan ayat demi ayat secara analitis menurut urutan mushaf al-Quran.[8]
Meski demikian metode penafsiran kitab ini pun dapat dikatakan semi
tematik (maudhu’i) karena ketika menafsirkan ayat ia mengelompokan ayat-ayat
yang masih dalam satu konteks pembicaraan ke dalam satu tempat, baik satu atau
beberapa ayat kemudian ia menampilkan ayat-ayat lainnya terkait untuk
menjelaskan ayat yang sedang ditafsirkan itu.
Metode tersebut, ia aplikasikan dengan metode-metode penafsiran
yang dianggapanya paling baik (ahsan turuq al-tafsir). Langkah-langkah dalam penafsirannya
secara garis besar ada tiga;
1.
Menyebutkan ayat ditafsirkannya, kemudian menafsirkannya dengan
bahasa yang mudah dan ringkas. Jika memungkinkan, ia menjelaskan ayat tersebut
dengan ayat yang lain, kemudian memperbandingkannya hingga makna dan maksudnya jelas.
2.
Mengemukakan berbagai hadis atau riwayat yang marfu’ yang
berhubungan dengan ayat yang sedang ditafsirkan. Ia pun sering menjelaskan
antara hadis atau riwayat yang dapat dijadikan argumentasi (hujah) dan yang
tidak, tanpa mengabaikan pendapat para sahabat, tabi’in.
3.
Mengemukakan berbagai pendapat mufasir para ulama[9]
tabi’in ulama . Dalam hal ini, ia terkadang menentukan pendapat yang paling
kuat dia antara para ulama yang dikutipnya, atau mengemukakan pendapatnya
sendiri dan terkadang ia sendiri tidak berpendapat. Disamping itu, kitab tafsir ini banyak menguraikan
makna-makna al-qur’an dengan menggunakan analisis kebahasaan (Bahaa Arab).
E.
Contoh Penafsiran
وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ وَالْمَسْكَنَةُ
وَبَآؤُوْاْ بِغَضَبٍ مِّنَ اللَّهِ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُواْ يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ
اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ النَّبِيِّينَ بِغَيْرِ الْحَقِّ ذَلِكَ بِمَا عَصَواْ وَّكَانُواْ
يَعْتَدُونَ -٦١-
Kemudian mereka ditimpa kenistaan dan
kemiskinan, dan mereka (kembali) mendapat kemurkaan dari Allah. Hal itu
(terjadi) karena mereka mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi
tanpa hak (alasan yang benar). Yang demikian itu karena mereka durhaka dan
melampaui batas. (QS:
al-Baqarah/2: 61)
Allah Ta’ala
berfirman,” lalu ditimpakanlah kepada mereka
nista dan kehinaan,”artinya nista dan kehinaan itu diberlakukan dan
ditetapkan atas mereka sebagai ketetapan dan takdir. Yakni mereka senantiasa
dihinakan. Setiap orang yang menjumpai mereka akan memandang mereka hina dan
rendah serta menetapkan kekerdilannya. Di samping itu, mereka merasa kehinaan
dan kenistaan lantaran dosa yang telah mereka perbuat. Al-Hasan berkata,” Allah
menghinakan merka , tidak punya kekuatan serta menjadikan mereka dibawah kaki
orang muslim hingga umat islam sekarang dan kaum Majusi mewajibkan mereka bayar
pajak, serta mereka kembali memikul murkaan dan kemarahan Allah karena
dosa-dosa yang telah mereka lakukan.
“Hal itu karena mereka
kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa hak. “Allah Ta’ala
berfirman, sesungguhnya Allah membalas terhadap mereka dengan kehinaan,
kenistaan, kemurkaan dan kemarah. Sebab mereka sombong dan tidak mau mengikuti
syari’at yang dibawa para nabi. Mereka telah mengurangi haknya hingga mencapai
suatu titik keadaan yang menyerek mereka
pada pembunuhan para nabi tanpa hak,
yaitu kejahatan yang mereka lakukan. Tidak ada kekafiran yang lebih besar dan
lebih jahat daripada membunuh nabi.
عن عبدالله ين مسعود رضي الله عنه، أن النبي صالله عليه وسلم قال: أشد
الناس عذابا يوم القيامة،رجل قتله نبي، أو قتل نبيا وامام ضلالة وممثل من
ممثلتين(رواه أحمد)
Dari ‘Abdullah bin Mas’ȗd Rasulullah Saw bersabda, manusia yang
paling berat siksanya pada hari kiamat ialah orang yang dibunuh nabi, membunuh nabi,
pemimpin yang sesat dan pelaku sadis dalam membunuh.( Imam Ahmad)
Dalam hadits lain
dikatakan,” kesombongan ialah menolak kebenaran dan menzalimi orang lain,”
yaitu menolak hak, melecehkan, meremehkan orang lain dan membanggakan diri.
Oleh karena itu, Allah menetapkan kenistaan
kepada mereka yang tidak dapat ditolak serta menyeliputi kehinaan, baik
di dunia maupun akhirat sebagai pembalasan yang setimpal. Hal ini mereka
durhaka dan melampaui batas dengan berbagai
kemaksiatan dan melanggar hal-hal yang diharamkan Allah.[10]
F.
Karya-Karya Ibnu Katsir
Sebagai ulama ia banyak menghasilkan karya-karya ilmiah dari
berbagai disiplin ilmu Islam, seperti tafsir, hadits, juga sejarah. Diantaranya
1.
kitab Tafsȋr al-Qur’ân al-‘Adzȋm yang dikenal
dengan nama tafsir Ibnu Katsir
2.
Jamȋul masânȋd wa as-Sunan Hâdȋ li Aqwami Sunan, sebanyak 8 jilid yang berisi tokoh-tokoh perawi hadits
3.
at-Takmȋlah fȋ Ma’rifatus Tsiqat wad Dhu’afâ wal Majâhȋl, sebanyak 5 jilid yang berisi nama-nama perawi yang kuat dan yang
lemah
4.
Mukhtashar kitab Muqaddimah Ibnu shallah; al-Bâ’is al-Hadȋts, berisi masalah ilmu hadits
5.
al-Bidâyah wan Nihâyah sebanyak
14 jilid dalam bidang sejarah
6.
al-Fashal fȋ sirah ar-Rasul; Thabaqât asy-Syâfi’iyah.
8.
Al-Kawâkibub Darâri fȋ at-Târȋkh
9.
Tafsȋrul Qur’ân;al-ijtihâd fȋ Talabil jihâd
11.
Kitâbul Ahkâm
12.
Ahkâmul kabȋr
13.
Syarah Shahih al-Bukhârȋ
G.
Kelebihan Dan Kekurangan Dalam Tafsir Ibnu Katsȋr
Kelebihan penafsiran Ibnu Katsir diantaranya
1.
Para pakar tafsir dan ‘Ulumul Qur’an umumnya menyatakan bahwa
tafsir Ibnu Katsir ini merupakan kitab tafsir bi al-matsur terbesar kedua
setelah tafsir al-Thabari.
2.
penafsiran ayat dengan ayat al-Qur’an
3.
al-Qur’an dan dengan hadis yang tersusun secara semi tematik,
bahkan dalam hal ini ia dapat dikatakan sebagai perintisnya. Selain itu, dalam
tafsir ini pun banyak memuat informasi dan kritik tentang riwayat Israiliyat
dan menghindari kupasan-kupasan linguistik yang terlalu bertele-tele. Karena
itulah al-Suyuti memujinya sebagaikitab tafsir yang tiada tandingannya.
4.
tafsir ini memberi pengaruh yang sangat signifikan kepada sejumlah
mufasir yang hidup sesudahnya, termasuk Rasyid Rida, penyusun Tafsir al-Manar.
5.
Mengumpulkan ayat-ayat al-qur’an yang mempunyai kolerasi makna yang
saling mendukung.
6.
Menerangkan asbabun nuzul,
jika pada ayat itu mempunyai sebab-sebab turunya.
sedangkan kekurangan
penafsiran Ibnu Katsir diantaranya
1.
Muhammad al-Gazali, misalnya, menyatakan bahwa betapapun Ibnu
Katsir dalam tafsirnya telah berusaha menyeleksi hadis-hadis atau
riwayat-riwayat (secara relatif ketat), ternyata masih juga memuat hadis hadis
yang sanadnya da’if dan kontradiktif. Hal ini tidak hanya ada dalam tafsir Ibnu
Katsir tetapi juga pada kitab-kitab tafsir bil ma’tsur pada umumnya.
[1]Ismâȋl bin
‘Umar ibn Katsȋr ad-Damsyiqȋ, Tafsȋr al-Qur’ân al-‘Adhim, (Beirut: Dâr
al-Kutub, 2012 ), 3.
[2]Shohibul Adib,
M. Syihabuddin dan Fahmi Arif El Muniry,
ulumul Quran: Profil Para Mufassir al-Qur’an dan Para Pengkajinya, (Banten:
Pustaka Dunia, 2011), 129-130.
[3]M. Husen
az-Zahabȋ, at-Tafsir wa al-Mufassirȗn, (Beirut: Mas’ab bin Umar
al-Islamiah, 2004), 173-174.
[4]Ismâȋl bin
‘Umar ibn Katsȋr ad-Damsyiqȋ, Tafsȋr al-Qur’ân al-‘Adhim, 3.
[5]Mudzakir AS
terj. Manna Khalil al-Qaththan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, (Bogor:
Litera Antarnusa,2002), 528.
[6]Shohibul Adib,
M. Syihabuddin dan Fahmi Arif El Muniry,
ulumul Quran: Profil Para Mufassir al-Qur’an dan Para Pengkajinya, 133.
[7]Abd. Mu’ȋn
Sâlim, Metode Ilmu Tafsir, (Yogyakarta:
TERAS, 2010), 42.
[8]Rosehan Anwar, Pengantar
Ulumul Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), 149.
[9]Mudzakir AS
terj. Manna Khalil al-Qaththan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, 131.
[10]M. Nasib
Rifa’i, Kemudahan Dari Allah Ringkasan Ibnu Katsir, jil 1, (Jakarta:
Gema Insani, 1999), 141-143.
[11]Manna Khalil
al-Qaththan, Mabâhits fȋ Ulȗmil Qur’ân, (Surabaya: al-Hidayah,
1973)
[12]Mudzakir AS
terj. Manna Khalil al-Qaththan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, 528.
[13]Ismâȋl bin
‘Umar ibn Katsȋr ad-Damsyiqȋ, Tafsȋr al-Qur’ân al-‘Adhim, 4.